Idul Fitri dan Moralitas Bernegara
Oleh: Ferdian Andi,
Pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)
Perayaan Idul Fitri memberi makna penting bagi individu maupun negara. Perayaan kolosal ini memiliki dimensi spiritual sekaligus sosial. Terlebih, merujuk data World Population Review, Indonesia berpenduduk muslim terbesar kedua (236 juta) setelah Pakistan (240,8 juta), perayaan Idul Fitri secara lahir batin memberi dampak bagi warga dan negara.
Idul Fitri identik dengan mudik yang berarti kembali ke kampung halaman. Kembali ke kampung halaman juga dimaknai sebagai evaluasi diri atas perjalanan selama setahun terakhir. Kebersahajaan, keguyuban, dan kohesivitas sebagai nilai luhur yang relevan untuk dibawa kembali dalam aktivitas di kota seusai mudik.
Baca juga Berkah Idul Fitri dan Perubahan Sosial
Bagi negara, perayaan Idul Fitri menjadi ruang artikulasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan, khususnya di sektor transportasi, tata kelola ketersediaan bahan pokok warga, hingga pelayanan ketertiban dan keamanan di ruang publik. Mobilitas jutaan warga dalam waktu yang bersamaan membutuhkan kejelian dan ketepatan dalam mengorkestrasi pergerakan warga dari kota ke desa.
Bukan sekadar itu, perayaan Idul Fitri juga menjadi momentum untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Sejumlah catatan maupun kritik publik terhadap penyelenggaraan negara patut dielaborasi sebagai bagian dari partisipasi publik dalam pemerintahan demokratis. Perayaan Idul Fitri menjadi momen yang tepat bagi penyelenggara negara untuk mengembalikan integritas dalam bernegara. Bagi negara, Idul Fitri berarti supremasi moralitas dalam tata kelola bernegara sebagaimana amanat konstitusi.
Moralitas Konstitusional
Penyelenggaraan kekuasaan negara, baik cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, meniscayakan pelibatan moralitas. Moralitas dalam bernegara ini berkedudukan sebagai kompas sekaligus rem bagi negara, yang pada dasarnya memiliki sifat memaksa dan monopoli, dalam menjalankan kewenangan yang dimiliki. Dalam bentangan sejarah, dari era klasik hingga modern, terkonfirmasi bila moralitas dihilangkan dalam penyelenggaraan negara, secara paralel akan lahir pemerintahan yang absolut, otoriter, dan sarat penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Dalam praktik demokrasi mutakhir di pelbagai belahan negara dunia, muncul istilah stagnation democracy, backsliding democracy, illiberal democracy, regression democracy, managed democracy, bahkan die democracy, sebagai potret demokrasi yang meminggirkan moralitas bernegara. Dampaknya, demokrasi tak hanya jalan di tempat atau mengalami kemunduran, tapi sudah berubah menjadi otoriter dan mengalami kematian. Situasi yang harus dihindari bersama.
Baca juga Merindukan Kebiasaan Membaca Buku di Mana Saja
Moralitas bernegara termanifestasikan melalui moralitas konstitusional (constitutional morality) yang diaktualisasikan melalui tindakan pemegang jabatan di bawah konstitusional yang sesuai dengan kebajikan yang disyaratkan menurut hukum. Moralitas konstitusional tidak didasari pada konsepsi abstrak seperti ”orang baik” yang berbudi luhur, tapi menitiktekankan pada pemenuhan persyaratan untuk menjadi yang baik pada jabatan publik (Bruce P. Frohnen & George W. Carey, 2016).
Kewenangan yang dimiliki penyelenggara negara, seperti di bidang pemerintahan, legislasi, serta yudisial, sepatutnya didasari moralitas konstitusional dengan berpedoman pada prinsip pemisahan (separation of power) sekaligus pembatasan kekuasaan (limitation of power), yang menjadi bagian dari fungsi konstitusi. Kritik dan catatan yang muncul di ruang publik seperti di bidang legislasi yang pada titik ekstrem menormalisasi peminggiran partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Termasuk pengabaian etik dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dalam bentuk kebijakan publik maupun pelaksanaan kekuasaan yudisial melalui putusan hukumnya.
Baca juga Selepas Ramadhan Berlalu
Andre Béteille (2008) menyebutkan, kendati sebuah konstitusi ditulis dengan cermat, namun cenderung melahirkan kesewenang-wenangan, tidak menentu, dan berubah-ubah. Padahal, konstitusi memberi panduan tentang aturan hukum yang impersonal dan membedakan perkara mana yang diselesaikan melalui jalur kompetisi politik.
Di sinilah pentingnya aktivasi moralitas konstitusional dalam bernegara. Menurut Béteille, tanpa moralitas konstitusional yang diinternalisasi ke pemangku jabatan publik, termasuk kalangan intelektual publik, konstitusi hanya menjadi mainan para pialang kekuasaan.
Baca juga Publikasi Ilmiah dan Pematangan Intelektual
Peringatan itu patut menjadi refleksi bersama tentang pentingnya menegakkan dan meninggikan moralitas konstitusional dalam tata kelola bernegara. Perayaan Idul Fitri menjadi momen kontemplatif bagi negara untuk kukuh dan kembali ke jalur konstitusi. Sikap tersebut penting diambil sebagai konsekuensi dari relasi agama dan negara dari aspek material, yakni menempatkan agama sebagai sumber nilai dalam pengelolaan negara.
Kembali ke Konstitusi
Perayaan Idul Fitri yang berdekatan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada Februari lalu serta menjelang peringatan 26 tahun reformasi pada Mei mendatang menjadi momen yang tepat untuk mengukuhkan kembali cita-cita para pendiri bangsa (the founding fathers) sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Ragam persoalan yang mendasar dalam pengelolaan penyelenggaraan negara harus dikembalikan pada format konstitusional. Konstitusi, dalam pandangan Ronald Dworkin (2006), harus dibaca secara moral dengan mengembalikan konstitusi sesuai maksudnya, bukan dibaca atas dasar pandangan siapa yang bisa diterima.
Baca juga Memimpikan Kurikulum Inklusif
Konstitusi yang memuat prinsip-prinsip umum, dalam pandangan Dworkin, memperlakukan status moral dan politik warga dalam keadaan setara. Ia menyerukan, negara harus berusaha memperlakukan setiap warga negara sama, dengan kepedulian yang sama, termasuk kebebasan yang melekat pada individu warga.
Idul Fitri bagi penyelenggara negara tak disimplifikasi sekadar ajang silaturahmi antarelite yang dikonversi ke dalam politik praktis berjangka pendek. Idul Fitri mesti menjadi perayaan keagamaan yang dapat menjadi pemantik kembalinya fitrah bernegara yang berarti menempatkan kepentingan umum sebagai pijakan dalam perumusan setiap kebijakan publik.
*Artikel ini terbit di jawapos.com, Senin 22 April 2024