14/03/2025

Puasa sebagai Terapi dan Ragam Perspektifnya di Benua Eropa

Oleh dr. Mohammad Qoimam Bilqisthi Zulfikar

(Wakil Ketua PCINU Belgia 2023-2025, Mahasiswa Magister European Public Health Université de Liège Belgia dan EHESP Prancis)

Artikel ini terbit di mediaindonesia.com edisi 10/3/2025

Setiap tahun, ketika bulan suci Ramadan tiba, jutaan umat Muslim di seluruh dunia memasuki fase transformasi spiritual dan fisik melalui ibadah puasa. Lebih dari sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, puasa adalah sebuah latihan disiplin diri yang telah diwariskan selama berabad-abad.

Dalam ajaran Islam, ibadah ini berfungsi sebagai pengendali diri, sebuah “rem” terhadap hawa nafsu, amarah, serta perbuatan buruk lainnya. Lebih dari itu, puasa menjadi manifestasi ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana tertuang dalam firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 183.

Baca juga Puasa dan Kemenangan Bangsa

Profesor Andreas Michalsen dari Rumah sakit Charité Berlin, satu dari enam rumah sakit milik pemerintah Jerman yang menawarkan terapi puasa, menjelaskan bahwa metode ini terbukti efektif dalam memperbaiki kualitas hidup pasien yang menderita sindrom metabolik serta penyakit sendi seperti osteoatritis.

Untuk mengoptimalkan manfaat puasa, rumah sakit menyediakan pula berbagai terapi penunjang, seperti pijat, terapi beku, dan latihan fisik. Hal tersebut bertujuan untuk menstimulasi dan meregulasi lebih baik proses autofagi, yakni mekanisme alamiah tubuh di “mode ¬hemat” melalui pemecahan protein dan komponen sel lainnya dalam mempertahankan homeostasis, yakni keseimbangan tubuh.

Menariknya, selain diresepkan langsung oleh dokter, terapi puasa ini di-reimburse oleh asuransi kesehatan. Popularitas terapi ini begitu tinggi, sehingga pasien harus menunggu antrean kurang lebih 6 bulan untuk bisa mengakses layanan ini. Bahkan, peminatnya tidak hanya berasal dari Jerman, namun juga dari berbagai negara lain di Eropa.

Di sisi lain, dalam perspektif evolusi biologis, Eric M. Verdin seorang peneliti biology of aging asal Belgia, mengungkapkan bahwa pada dasarnya, manusia tidak didesain untuk makan terus-menerus dan tanpa henti. Selama puluhan ribu tahun sebelum era modern, makanan tidak selalu tersedia dengan mudah. Manusia harus menanam, beternak, mengumpulkan atau berburu untuk mendapatkan makanan.

Baca juga Puasa; Kedamaian Diri untuk Perdamaian Bumi

Perubahan ini bertentangan dengan warisan genetik fisiologis manusia. Profesor Andreas Michalsen menambahkan bahwa manusia secara genetik memiliki performa lebih baik ketika ada jeda yang cukup antara siklus makan dan puasa.

Baca juga Mengulik Hikmah Puasa (Bag. 1)

Sementara itu, dalam perspektif psikologis, Christophe André, psikiater Prancis, dalam bukunya Méditer, jour après jour (Meditasi hari demi hari), menggambarkan bahwa obesitas adalah penyakit modern yang muncul akibat pletora, yakni segala sesuatu yang berlebihan.

Hal ini karena manusia modern hidup dengan serba “terlalu”, salah satunya terlalu banyak makan dan terlalu sering makan dengan jarak yang terlalu dekat. Segala sesuatu yang dilakukan secara berlebihan secara paralel juga akan menimbulkan konsekuensi yang besar pula, termasuk dalam konteks ini kesehatan manusia.

Baca juga Mengulik Hikmah Puasa (Bag. 2-terakhir)

Puasa berperan sebagai obat dan “rem” alami serta sebuah bentuk resistensi terhadap budaya konsumsi berlebihan yang mendominasi kehidupan manusia modern. Nyatanya, praktik ini telah “diresepkan” secara ilahi sejak 10 Sya’ban tahun kedua Hijriyah, melalui perintah Allah kepada Rasulullah dan umatnya, berabad-abad sebelum ilmu pengetahuan modern membuktikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *