18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)
Aliansi Indonesia Damai- Setiap orang pastilah mendambakan kebahagiaan hidup bersama keluarga. Doa dan harapan orang tua akan selalu hadir untuk masa depan anak-anaknya. Namun harapan tak selalu sesuai dengan kenyataan. Adakalanya kepahitan hidup menerpa menguji ketabahan.
Kenyataan pahit harus dialami para korban serangan Bom Bali, 12 Oktober 2002. Nyoman Rencini di antaranya. Sebelum serangan terorisme merenggut nyawa sang suami, Rencini dan suaminya mematok cita-cita: ketiga buah hatinya harus melanjutkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Mereka percaya pendidikan adalah pintu kesuksesan anak-anaknya di masa depan.
Baca juga Jalan Panjang Kebangkitan Korban Bom Bali 2002: Penyembuhan Luka (Bagian I)
Demi mewujudkan harapan itu, suami Rencini rela bekerja jauh dari rumah semata-mata untuk menafkahi keluarga sekaligus membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun siapa sangka, kepergian sang suami yang dikira hanya sementara waktu, rupanya betul-betul pergi selamanya.
Malam itu Rencini mendapatkan kabar dari tetangga bahwa telah terjadi ledakan bom di Kuta, Bali. Tidak ada firasat buruk apa pun waktu itu, justru Rencini mengaku cukup senang. Karena dengan kejadian itu suaminya akan pulang ke kampung halaman. Harapan kosong. Sang suami justru berpulang selamanya.
Baca juga Jalan Panjang Kebangkitan Korban Bom Bali 2002: Upaya Kebangkitan (Bagian II-Terakhir)
Kabar duka ia peroleh dari saudara iparnya. Ia pun merasa hancur. Selama berhari-hari Rencini dan keluarga mencari jasad suami, namun tak kunjung ditemukan. Sampai ia mendapatkan petunjuk dari paranormal tentang keberadaan suami. Dengan kondisi jasad yang tak dapat dikenali lagi, Rencini melakukan tes DNA. Hasilnya betul, potongan jasad itu adalah sang suami.
Rencini merasa sangat terpuruk sampai nyaris mengakhiri hidupnya. Namun saat ia melihat ketiga buah hatinya, ia berpikir kembali. Harapan dan cita-cita mendiang suami harus tetap terwujud. Suaminya tidak mungkin kembali lagi, sekalipun ia terus menangis dan meratapi. Walhasil ia memilih menatap masa depan.
Baca juga Kekerasan Tidak Menyelesaikan Masalah
“Suami ibu memang sudah pergi dan tidak mungkin akan kembali lagi. Namun ibu dan anak-anak ibu harus terus melangkah untuk hidup dan mewujudkan apa yang suami ibu pernah cita-citakan,” kata Rencini dalam salah satu kegiatan bersama AIDA.
Tekad untuk mewujudkan harapan mendiang suami nyatanya tak sia-sia. Dengan kegigihannya, Rencini berhasil mendidik dan menyekolahkan ketiga putrinya hingga perguruan tinggi. Ia pun merasa bersyukur, di tengah ujian hidup, ia masih diberi kekuatan untuk bertahan menjadi seorang ibu sekaligus ‘’ayah’’ bagi anak-anaknya. (Bersambung)
Baca juga Karena Dendam Tak Boleh Diwariskan