Home Pilihan Redaksi Kisah 1 Oktober 2005
Pilihan Redaksi - Suara Korban - 14 hours ago

Kisah 1 Oktober 2005

Oleh Ni Wayan Ani, korban ledakan bom di Pantai Jimbaran pada 1 Oktober 2005 atau sering disebut aksi teror Bom Bali II. Dia bekerja di salah satu rumah makan tepi Pantai Jimbaran yang setiap malam ramai dikunjungi wisatawan. Dia ungkapkan kesaksiannya saat mengalami peristiwa itu melalui sudut pandangnya sendiri.

Artikel ini pernah dimuat Newsletter SUARA PERDAMAIAN Edisi XVII Juli 2018

Sore itu… Sabtu, 1 Oktober 2005…

Saat itu saya bersama suami berangkat kerja. Kebetulan saya dan suami bekerja di tempat yang sama. Suami bagian dapur atau tukang panggang, saya bagian depan atau pelayan tamu.

Saat itu… matahari belum terbenam. Sunset-nya begitu indah. Dan tamu begitu banyak berdatangan. Saya mulai sibuk meladeni tamu yang datang. Kebetulan tempat kerja saya berada di pinggir pantai.

Saat itu… kira-kira jam 7 malam. Saya sedang berjalan mau mengambil minuman yang dipesan tamu. Belum sempat saya pegang minuman dan belum sempat antar ke tamu. Tiba-tiba terdengar ledakan dan ada percikan api Lebih kurang 6 meter jaraknya ledakan itu dari tempat saya berdiri. Saya ingat tepat di bawah pohon ledakan itu terjadi.

Saat itu… saya terlempar dan jatuh tertimpa kursi. Tempat tisu dan semua benda-benda yang lain seperti terbang. Saya bisa lihat dan dengar tapi badan saya nggak bisa digerakkan. Berselang lagi berapa menitnya, terdengar ledakan lagi.

Saat itu… saya belum percaya bahwa itu bom. Akhirnya saya nggak sadarkan diri karena kehabisan darah. Beruntung suami dibantu teman-teman cepat mendapatkan ambulans. Jadinya saya bisa selamat sampai di rumah sakit.

Saat itu… begitu sadar saya kaget Kenapa tangan, kaki, dan badan saya nggak bisa digerakkan. Apakah saya lumpuh??? Dokter lalu menerangkan bahwa saya kena dua gotri di kepala, di antara saraf dan otak kecil. Makanya seluruh badan nggak bisa digerakkan.

Saat itu… badan saya penuh dengan darah dan memar karena tergores benda-benda tajam. Baju dan celana saya compang-camping robek. Tapi saya merasa bersyukur saya dan suami selamat.

Saat itu… 3 bulan lebih saya nggak bisa gerakkan tangan dan leher. Saya terus terapi dan berjuang supaya saya sembuh kembali. Bersyukur saya punya keluarga dan teman-teman.

Yang memberi semangat supaya cepat sembuh. Walaupun sampai sekarang trauma dan kesehatan saya belum pulih betul. Sering tangan dan kaki saya kesemutan sampai sakit luar biasa. Atau tiba-tiba nggak bisa memegang apa-apa.

Saat itu… saya berpikir mungkin ini takdir kita. Puji syukur kepada Tuhan Engkau telah menyelamatkan kami. Ini semua sudah takdir kami mengalami musibah bom ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *