11/07/2022

Dua Kutub untuk Indonesia Damai

Aliansi Indonesia Damai- “Ini hal yang tidak terpikirkan. Ada dua kutub yang benar-benar bisa duduk di satu meja. Ada korban kemudian pelaku. Mestinya tidak mungkin, karena luar biasa efek psikologis bagi korban. Tetapi karena semangat kebersamaan, agar tercipta Indonesia damai, kita menurunkan ego masing-masing.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang, Dr. Werhendri, saat memberikan sambutan dalam Kegiatan “Halaqoh Perdamaian: Belajar dari Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” di UIN Imam Bonjol, Rabu (29/06/2022). Acara tersebut diikuti 150 peserta dari beberapa kampus di Sumatera Barat. Di antara narasumbet yang dihadirkan adalah Nanda Olivia Daniel, korban Bom Kuningan 2004, dan Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku terorisme.

Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Penyintas Bom Kuningan

Menurut Werhendri, kegiatan ini sangat penting bagi mahasiswa. Pertama, sebagai penguatan akademik secara teoretis. Kedua, memberikan perspektif secara empiris dari peristiwa terorisme, “Apa yang kita bahas ini, mari kita belajar untuk diri, masyarakat, dan bangsa ini,” katanya.

Ia mengapresiasi para korban terorisme yang mampu menaklukkan emosinya. Korban sejatinya harus bertarung secara moral, karena pernah tersakiti. Biasanya rasa sakit itu akan diwariskan ke generasi di bawahnya, namun itu bisa diputus.

Baca juga Warek ITT Purwokerto Ajak Mahasiswa Lestarikan Perdamaian

Dalam kesempatan itu, Ali Fauzi Manzi menceritakan pengalamannya selama bergabung dengan kelompok ekstrem. Ia pernah menempuh pendidikan militer di Mindanao, Filipina. Ali belajar merakit bom dan menggunakan senjata api. Sampai akhirnya ia ditangkap dan ditahan otoritas Filipina. “Di penjara saya disiksa dengan luar biasa, sampai akhirnya dipulangkan ke Indonesia” ujarnya.

Siksaan berat tersebut belum mengubah pemahamannya. Justru perubahan terjadi di Indonesia. Ali memutuskan meninggalkan kelompok ekstrem karena pelbagai faktor. Salah satu faktor yang menguatkan kesadarannya adalah pertemuan dengan korban bom yang menderita sakit seumur hidupnya. “Air mata saya tumpah. Hati saya teriris-iris, saya tidak tahan,” tuturnya dengan bersedih.

Baca juga Mencegah Pemuda Terpapar Paham Ekstrem

Sementara Nanda Olivia Daniel mengisahkan musibah yang menimpanya pada 9 September 2004. Ia harus mengalami disabilitas di bagian jari tangannya akibat bom yang meledak di depan kantor Kedubes Australia di Jakarta. “Para teroris itu mempunyai pilihan untuk tidak mengebom. Tetapi saya dan para korban yang lain tidak mempunyai pilihan. Saya hanya ingin kuliah, tapi harus kena bom karena ulah mereka,” katanya tegas.

Nanda pernah sangat marah dengan para pelaku terorisme. Ketika dirinya dipertemukan pertama kali dengan Ali Fauzi, ingin rasanya ia melampiaskan kekesalan kepadanya. Namun ia lantas menyadari bahwa kemarahan tidak akan membuat jarinya kembali seperti semula. “Akhirnya saya tekankan dalam diri saya bahwa harus belajar memaafkan. Bukan karena orang lain, tetapi karena diri saya. Saya memaafkan diri saya untuk ikhlas, sadar, dan bangkit,” tuturnya. [FKR]

Baca juga Meluruskan Stereotip Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *