Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim (Bag. 2-terakhir)
Aliansi Indonesia Damai- Nabi Ibrahim kemudian bertolak ke Harran. Sementara Hajar dan Ismail tinggal berdua di lembah yang sunyi. Awalnya semuanya baik-baik saja, karena persediaan bekal masih ada. Hajar merasa sedih tetapi melihat wajah bayinya, semangatnya hidup kembali. Cobaan berat datang ketika perbekalan mereka habis. Hajar tidak makan apa-apa lagi. Kalau tidak ada makanan yang dikonsumsi, otomatis persediaan ASI untuk bayi Ismail pun habis. Sementara Ismail terus merengek karena lapar.
Hajar kemudian berikhtiar mencarikan air untuk Ismail di tengah lembah yang gersang itu. Ia berlari-lari kecil menaiki bukit Safa untuk melihat adakah sumber makanan yang bisa diambil. Sayangnya ia tidak menemukan apapun. Lalu ia menuruni bukit Safa dan naik ke Marwah dengan tujuan yang sama. Namun tetap saja usahanya itu nihil. Hajar bolak-balik ke dua bukit tersebut sebanyak tujuh kali. Kegigihan Hajar ini kelak diabadikan menjadi salah satu ritual ibadah haji bernama sa’i.
Baca juga Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim (Bag. 1)
Dengan perut kosong dan panas yang semakin terik, Hajar pun kelelahan. Ia tersungkur karena sudah tak punya tenaga lagi. Ia memasrahkan hidupnya dan bayinya kepada Allah. Di tengah keputusasaan itu, Allah selamatkan nyawa mereka dengan memunculkan sumber mata air dari tanah yang gersang tersebut. Hajar bergegas menuju sumber mata air itu. Ia meminum air tersebut, lalu meminumkannya kepada Ismail.
Sumber mata air ini kemudian dikenal dengan nama zamzam dan masih mengalir sampai sekarang. Dengan adanya sumber mata air, Hajar dan Ismail akhirnya bisa bertahan hidup di lembah itu. Beberapa saat kemudian, datanglah kabilah dagang dari Bani Jurhum untuk menikmati sumber mata air zamzam. Mereka lalu meminta izin kepada Hajar untuk ikut tinggal di sana, dan Hajar pun mengizinkannya.
Baca juga Psikologi Memaafkan (bag. 1)
Demikianlah Allah menyelamatkan hamba-Nya yang sabar dari kesusahan. Seiring berjalannya waktu, lembah yang tadinya gersang itu dihuni oleh manusia. Peradaban pun mulai muncul di sana. Nabi Ibrahim beberapa kali mengunjungi Hajar dan Ismail di wilayah yang kemudian dikenal dengan Makkah. Sebagai seorang suami sekaligus ayah, tentu ia merasakan kerinduan yang mendalam akibat lama tak berjumpa.
Ketika Ismail menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim kembali diuji oleh Allah. Beliau bermimpi menyembelih anak tercintanya, Ismail. Nabi Ibrahim meyakini bahwa itu adalah perintah Allah. Tapi ayah mana yang akan tega menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri? Ibrahim diliputi rasa bimbang. Ini tentu menjadi ujian yang sangat berat bagi seorang ayah.
Baca juga Psikologi Memaafkan (bag. 2)
Nabi Ibrahim menceritakan mimpinya ini kepada Ismail. Alih-alih takut dan menolak, Ismail malah meyakinkan ayahnya untuk melaksanakan mimpi tersebut. Jika itu memang perintah Allah, maka sudah seharusnya tidak ada lagi keraguan. Ismail ikhlas dengan garis yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Waktu penyembelihan pun tiba. Nabi Ibrahim dan Ismail sama-sama sudah memasrahkan diri kepada ketetapan Allah. Sebelum eksekusi dilakukan, Ismail berpesan kepada ayahnya agar menghadapkan wajahnya ke tanah, supaya Nabi Ibrahim tidak kasihan melihat wajahnya lalu membuat hati Ibrahim goyah. Ismail juga meminta agar sang ayah menyingkap bajunya, agar darahnya tidak mengenai baju yang membuat sang ayah akan teringat terus dengan peristiwa penyembelihan itu.
Baca juga Psikologi Memaafkan (Bag. 3)
Ismail juga menitipkan pesan untuk ibunya, Hajar, agar senantiasa bersabar dalam menjalankan perintah Allah. Ia juga meminta sang ayah untuk menjauhkan ibunya dari anak-anak remaja seumuran dia, agar ibunya tak bersedih karena teringat akan dirinya. Semua pesan ini menunjukkan betapa bijaksananya sifat Ismail. Tidak hanya patuh akan perintah Allah, ia juga tak ingin iman ayah dan ibunya goyah.
Jika ia menolak disembelih, tentu Ibrahim dan Hajar akan merasa iba, dan itu artinya, mereka akan membangkang perintah Allah. Ketika pedang eksekusi nyaris memotong leher Ismail, malaikat Jibril menahan tangan Nabi Ibrahim. Allah kemudian mendatangkan domba sebagai ganti Ismail. Kejadian ini sekaligus menegaskan, bahwa jalan agama Allah adalah hifzu an-nafs, atau memelihara jiwa. Allah tidak akan memerintahkan hamba-Nya untuk menumpahkan darah manusia dengan mudahnya, apalagi darah manusia yang taat lagi beriman.
Baca juga Fondasi dan Keutamaan Memaafkan (Bag.1)
Kisah keluarga Nabi Ibrahim ini mengandung hikmah yang besar dan harus menjadi ibrah seluruh manusia. Seringkali kita dihadapkan pada cobaan hidup yang terasa sangat berat, sampai-sampai membuat kita menjadi putus asa atau bahkan depresi. Namun kita semua harus ingat, masalah yang kita hadapi barangkali merupakan ujian kesabaran dan keapasrahan menghadapi masalah-masalah tersebut. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.