Gaza dan Kemanusiaan Perang
Oleh: Hasibullah Satrawi
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam
Artikel ini terbit di laman Kompas.id edisi 20 Juni 2025
Memasuki bulan ke-20, belum ada tanda-tanda Perang Gaza akan segera berakhir. Dalam beberapa waktu terakhir, kondisi Gaza justru semakin kritis dengan jatuhnya korban meninggal puluhan orang per hari. Sementara Israel memutuskan untuk meningkatkan serangan sekaligus memperluas cakupan operasi darat di Gaza sebagai upaya untuk menguasai Gaza secara total.
Kebrutalan yang dilakukan Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu dalam dua tahun terakhir sampai pada tahap ”tak terampuni”. Hal ini tak hanya ditampakkan oleh negara-negara yang selama ini mendukung kemerdekaan Palestina, seperti negara-negara Arab dan dunia Islam secara umum, tetapi juga dilakukan oleh negara-negara Barat yang selama ini selalu membela Israel.
Baca juga ”Golden Period” Perang Israel-Iran
Dalam perkembangan terbaru, Perancis, Inggris, dan Kanada mengeluarkan sikap bersama yang sangat keras terhadap Israel. Dalam pernyataan tersebut, ketiga negara besar ini mengecam sikap Israel yang mengabaikan hak asasi manusia (HAM) dan melarang masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Bahkan, Inggris memutuskan untuk menghentikan perundingan dengan Israel terkait perdagangan bebas di antara kedua negara (Aawsat.com, 21/5/2025).
Sikap keras serupa sebelumnya ditunjukkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang melakukan kunjungan luar negeri perdana setelah dilantik sebagai Presiden ke-47 AS pada 20 Januari lalu. Dalam kunjungan luar negeri perdananya yang berlangsung selama tiga hari (13-16 Mei 2025), Trump hanya mendatangi tiga negara Arab kaya minyak, yaitu Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Sementara Israel yang selama ini menjadi mitra AS paling strategis di Timur Tengah tidak dikunjungi.
Baca juga Manuver Trump di Timur Tengah
Semua fakta politik di atas membuat sebagian pihak menduga dengan sangat kuat akan terjadinya hubungan yang tak lagi mesra antara Trump dan Netanyahu. Sebagian media di Timur Tengah melaporkan bahwa Trump sempat memutus komunikasi dengan Netanyahu. Apalagi menjelang kunjungannya ke Timur Tengah, Trump melakukan dua kebijakan besar yang tidak melibatkan Netanyahu, yaitu kesepakatan AS dengan Houthi terkait gencatan senjata dan kesepakatan dengan Hamas terkait pembebasan sandera berkebangsaan AS, Edan Alexander.
Meski demikian, krisis hubungan antara Netanyahu dan Trump tidak sampai mengganggu hubungan antara AS dan Israel sebagai sebuah negara. Hubungan kedua negara tetap kuat. Hal ini bisa dibuktikan dengan sejumlah kebijakan AS belakangan yang tetap mendukung penuh Israel, seperti penggunaan veto di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengandaskan resolusi terkait gencatan senjata. Bahkan, AS baru-baru ini menjatuhkan sanksi untuk para hakim Mahkamah Kriminal Internasional yang mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Yoav Galant sebagai mantan Menteri Pertahanan Israel.
Menghentikan Netanyahu
Pertanyaannya ialah apakah sikap keras dari sebagian negara Eropa dan bahkan Presiden Trump sebagaimana di atas efektif menghentikan Netanyahu dari pelbagai perbuatan keji dan pelanggaran hukum internasional di Gaza? Jawabannya ialah tidak. Alih-alih berhenti, Netanyahu justru semakin meningkatkan angkara murkanya kepada rakyat Gaza yang tak memiliki apa pun untuk bertahan. Hal ini bisa dibuktikan dengan semakin meningkatnya serangan dan operasi darat Israel di Jalur Gaza.
Baca juga Timur Tengah 2025
Tidak hanya kepada rakyat Palestina yang tak berdaya, bahkan pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Netanyahu juga melawan negara-negara Eropa yang belakangan mengkritiknya secara keras. Dalam konteks kebijakan Inggris yang menghentikan perundingan perdagangan bebas, contohnya, Israel menyebut bahwa perundingan tersebut merupakan demi kepentingan kedua belah pihak, termasuk pihak Inggris. Bila pada akhirnya Inggris menghentikan perundingan tersebut, hal ini dianggap sebagai keputusan Inggris untuk menyusahkan dirinya sendiri.
Sementara dalam konteks Perancis, elite-elite Israel sudah lebih dahulu melakukan serangan balik, khususnya kepada Presiden Emmanuel Macron yang belakangan semakin vokal mendukung kemerdekaan Palestina. Serangan paling baru sekaligus paling keras justru disampaikan oleh putra Netanyahu, Yair Netanyahu, dalam media sosialnya. Dalam bentuk status di media sosialnya, Yair mengkritik Presiden Perancis sebagai pendukung Nazi. Bahkan, Yair menyerukan wilayah-wilayah di Perancis untuk melakukan perlawanan dan memerdekakan diri dari Perancis, seperti Kaledonia Baru, Polinesia Basque, dan Guinea.
Baca juga Lompat Lari Arab Saudi
Perlawanan lebih konyol dilakukan oleh Netanyahu terhadap PBB secara umum dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) secara khusus yang mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Netanyahu (21 November 2024). Alih-alih ditangkap, Netanyahu justru melakukan kunjungan ke AS tak lama ini secara bebas dan terlihat sangat bahagia. Bahkan, Netanyahu sempat merencanakan akan hadir secara langsung dalam pelantikan Paus Leo XIV (18 Mei). Namun, Netanyahu akhirnya tidak jadi menghadiri pelantikan Paus Leo XIV.
Semua ini menunjukkan bahwa Netanyahu tak bisa hanya digertak melalui pernyataan-pernyataan keras. Satu-satunya langkah menghentikan Netanyahu tak lain melalui tindakan nyata, yaitu menangkapnya secara langsung sesuai dengan perintah ICC.
Adalah ironi di atas ironi, pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Trump justru menjatuhkan sanksi kepada para hakim yang mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Netanyahu (sebagaimana telah disampaikan di atas). Ini menjadi tanda-tanda krisis nilai dan demokrasi AS yang semakin akut. Paling tidak karena AS melakukan pembangkangan terhadap produk hukum melalui mekanisme politik. Bukankah ini salah satu ciri dari pemerintahan tiran?
Baca juga Strategi “Dua Tangan” Trump di Timur Tengah
Dalam hemat penulis, perintah ICC mutlak harus dilakukan. Bila tidak, krisis kemanusiaan di Gaza akan menimbulkan dampak lebih mengerikan lagi, yaitu mandul atau biasnya pengadilan internasional selevel ICC; bahwa kemanusiaan memang tidak utuh, melainkan kemanusiaan dalam kondisi penyok atau peang yang hanya digunakan oleh negara-negara besar nan kuat untuk menyerang dan menghancurkan negara-negara yang miskin, berkembang, atau bahkan terbelakang.
Bila ini terjadi, keberadaan hukum internasional, bahkan PBB sekalipun, akan kehilangan kredibilitasnya. Pada akhirnya, mandulnya PBB dan lembaga di bawah atau selevelnya bisa mendorong negara-negara yang bersengketa dengan negara lain untuk mengambil tindakan agresi walau tanpa memperhatikan hukum-hukum internasional atau hak asasi manusia (HAM).
Momentum Dua Negara
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sekarang merupakan momentum yang paling tepat untuk menunjukkan kepada dunia tentang adanya hukum dan organisasi internasional seperti PBB yang memang berdiri di atas semua bangsa, memperhatikan kesetaraan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan secara bulat. Para terduga penjahat perang seperti Netanyahu harus segera ditangkap dan diadili secara terbuka. Hingga ada kepastian hukum terkait kesetaraan dan hak asasi manusia yang harus dihargai, tak hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para penguasa sekalipun.
Hal yang tak kalah penting ialah ini momentum untuk menyelesaikan persoalan konflik Israel-Palestina secara permanen, yaitu dengan mengacu pada prinsip solusi dua negara. Hingga perang tragis seperti di Gaza saat ini tidak kembali terulang di masa mendatang, baik di Gaza dan Palestina secara khusus maupun di tempat-tempat lain secara umum.
Baca juga Menyambut Gencatan Senjata Israel-Hamas
Pada batas tertentu, kebijakan perang yang diambil Netanyahu saat ini bisa dipahami (walaupun tak bisa diterima), yaitu untuk membebaskan sandera yang sampai ini dipertahankan oleh Hamas. Di titik ini, secara obyektif bisa diakui kesalahan Hamas. Bahkan, serangan 7 Oktober 2023 yang kemudian berkembang menjadi perang sampai hari ini juga bisa dipahami sebagai kesalahan Hamas. Namun, keberadaan Hamas dan bangsa Palestina secara umum yang masih dijajah oleh Israel menjadi konteks yang membolehkan Palestina (dengan seluruh rakyat dan seluruh kekuatan politik yang ada di sana) melakukan aksi perlawanan dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Tak lain karena kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
Oleh karena itu, ini adalah momentum berharga bagi masyarakat dunia untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel secara permanen. Hingga tidak terjadi lagi serial aksi kekerasan yang dibalas dengan kekerasan yang lain. Hingga tidak terjadi lagi rangkaian ketidakadilan yang dibalas dengan ketidakadilan yang lain.
Baca juga Bahasa Berdaulat, Pendidikan Bermutu