Memaafkan untuk Perdamaian

“Saling memaafkan antara korban dan mantan pelaku merupakan hal yang luar biasa dan jarang terjadi. Korban memiliki jiwa yang lapang untuk bisa memaafkan, mantan pelaku juga bersusah payah untuk keluar dari jaringannya dan meminta maaf kepada korban”.
Demikian kata salah satu peserta dalam Pelatihan Guru “Belajar Bersama Menjadi Guru Damai” di Semarang, Jawa Tengah, akhir Oktober lalu. Belasan tenaga pengajar dari SMAN 1 Kendal, SMAN 1 Weleri, SMAN 3 Semarang, dan MA Uswatun Hasanah Semarang mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) itu secara aktif.
Dalam pelatihan dihadirkan Tim Perdamaian AIDA, yaitu korban dan mantan pelaku terorisme yang telah berekonsiliasi. Dari pihak mantan pelaku, hadir Kurnia Widodo yang dahulu sempat menjalani vonis hukuman penjara karena bergabung dengan kelompok teroris, dan dari pihak korban diwakili oleh Nanda Olivia Daniel, penyintas aksi teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004.
Korban dan mantan pelaku berbagi pengalaman masing-masing kepada para peserta dalam kegiatan yang berlangsung dua hari itu. Nanda menceritakan perjuangannya untuk bangkit setelah terdampak ledakan Bom Kuningan. Dia yang sedang menjalani masa akhir kuliahnya waktu itu mengalami luka-luka lantaran bus kota yang ditumpanginya melintas tepat di seberang mobil pembawa bom. Gendang telinga dan jaringan tulang jari-jari tangannya rusak akibat ledakan.
Sementara itu, Kurnia membagi pengalamannya saat meninggalkan kelompok teroris yang dahulu diikutinya. Dia mengaku mulai mengevaluasi gerakan dan cara pandang kelompoknya sewaktu menjalani masa hukuman di dalam penjara. Dia kecewa beberapa temannya sesama tahanan kasus terorisme sangat enteng menganggap umat muslim yang tidak sejalan dengan pemikirannya sebagai kafir. “Menurut saya itu sangat jauh dari ajaran Islam, sehingga membuat saya berubah sampai sekarang,” ujarnya.
Tahun 2014 Kurnia bebas kemudian memulai hidup baru dengan tidak lagi mengenal kata kekerasan. Keyakinannya untuk tidak lagi berada di jalan kekerasan menguat setelah dipertemukan dengan korban. “Saya mendengarkan secara langsung bagaimana penderitaan mereka yang ditimbulkan dari aksi terorisme. Saya sampai berkaca-kaca mendengar kisah mereka. Saya langsung meminta maaf kepada para korban yang saya temui meskipun saya sendiri tidak terlibat dalam aksi teror yang mengenai mereka,” kata dia.
Sebagai korban, Nanda mengaku sempat marah dan kecewa terhadap para pelaku aksi teror. Secara berangsur setelah difasilitasi AIDA untuk bertemu mantan pelaku yang telah berbalik menjadi aktivis perdamaian, dia mampu mengalahkan rasa dendam untuk memaafkan mantan pelaku. Dalam Pelatihan Guru di Semarang Nanda dan Kurnia bersalaman sebagai simbol saling memaafkan. “Rasa marah dan dendam dalam hati hanya akan menambah beban hidup,” kata wanita berkaca mata itu.
Dari penuturan kisah penyintas dan mantan pelaku diharapkan para guru mendapatkan motivasi dan inspirasi untuk melestarikan nilai-nilai perdamaian di lingkungannya, khususnya di sekolah. Pasalnya, di era keterbukaan sekarang ini banyak propaganda kebencian, kekerasan, serta berbagai hal yang bertentangan dengan nilai perdamaian tersebar di dunia nyata dan maya yang menyasar generasi muda dan pelajar.
Sebagian peserta menyampaikan kesan dan apresiasi dalam kegiatan tersebut. Seorang guru dari SMAN 3 Semarang mengatakan, “Mendengar kisah dari Mbak Nanda, saya jadi merasakan bagaimana kalau hal itu terjadi pada diri saya atau keluarga saya. Artinya, Mbak Nanda itu luar biasa (mampu memaafkan-red) hari ini bisa berdampingan dengan pelaku.”
Guru delegasi dari SMAN 1 Kendal juga senada. Ia mengatakan bahwa kegiatan yang menghadirkan korban dan mantan pelaku sangat jarang. Menurutnya, penuturan kisah korban dan mantan pelaku bisa menggugah kesadaran para siswa dan guru akan bahaya penyebaran paham-paham ekstrem.
Peserta dari MA Uswatun Hasanah Semarang mengatakan, “Hal yang paling berkesan dari acara ini adalah ketika korban dan mantan pelaku bertemu dan duduk berdampingan, dan yang lebih luar biasa adalah ketika Mbak Nanda mau memaafkan Pak Kurnia, karena menghilangkan trauma, rasa marah dan lain-lain itu kan membutuhkan jiwa yang sangat besar,” kata dia.
Selain testimoni dari Tim Perdamaian, para peserta juga mendapatkan materi pengayaan yang disampaikan oleh para ahli di bidangnya. Di antaranya adalah Solahudin, pakar kajian terorisme dari Universitas Indonesia, dan Asep Sukmayadi, Kepala Seksi Pengembangan Bakat dan Prestasi Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, menyampaikan harapan agar para guru mengambil pelajaran dari pelatihan ini sehingga dapat membimbing peserta didiknya dalam menjaga iklim perdamaian di sekolah. “Dari korban kita bisa belajar untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, sedangkan dari mantan pelaku kita bisa belajar bahwa ketidakadilan tidak semestinya dibalas dengan ketidakadilan di tempat lain”. [F]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XV Januari 2018.