Dari Kesakitan Menuju Kebangkitan
Aliansi Indonesia Damai – Namanya Christian Salomo. Ia salah seorang korban aksi teror bom di Kedutaan Besar Australia kawasan Kuningan Jakarta Selatan, yang terjadi 9 September 2004. Dengan emosi yang berat, ia berbagi kisah tentang peristiwa kelabu yang menimpanya 14 tahun silam tersebut. Pada saat kejadian, ia tengah bekerja sebagai petugas keamanan (satpam) di pintu gerbang masuk Kedutaan. Tak disangka, tiba-tiba dentuman keras disertai guncangan dahsyat menghempaskan tubuhnya hingga terpental jauh ke halaman Kedutaan. “Kaca-kaca gedung pecah berjatuhan dari atas dan daun-daun di pepohonan pun rontok,” terang Kris, sapaan akrabnya, menggambarkan situasi awal yang dia alami.
Setelah ledakan itu, Kris mengaku tak bisa melihat apa-apa kecuali gumpalan asap putih yang begitu tebal. Ia merasa ada sebuah benda yang jatuh dari atas hingga membuat tubuhnya terasa panas sekali. Di tengah gumpalan asap yang mengganggu pandangan itu, ia ingin berlari menyelamatkan diri. Namun sayang, usahanya gagal karena kaki kirinya telah hancur lebur berlumur darah dan tak bisa digerakkan sama sekali. Serpihan bom masuk ke sekujur tubuhnya sampai terasa panas sekali. “Tuhan, saya ingin lebih baik, tapi jangan hentikan hidup saya sampai di sini,” pintanya saat berdoa, sesaat setelah kengerian itu terjadi.
Setelah menunggu beberapa menit, seorang rekan kerjanya bernama Syahromi dan dua orang gardener (petugas kebun) datang memberikan pertolongan. Kris digotong ke rumah sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), tak jauh dari Kedutaan. Sembari menunggu evakuasi, Kris diminta untuk menunggu di lantai gedung RS MMC. Ia terpaksa bersabar menunggu tindakan medis seorang diri, rekan-rekannya harus kembali ke lokasi kejadian untuk menolong korban lain. Melihat begitu parah luka di kaki kirinya, Kris merasa kakinya akan diamputasi. Tapi ia berusaha melawan kemungkinan terburuk. Katanya, “Saya tidak mau hidup cacat, karena nanti bisa jadi beban ibu dan adik.”
Semenjak sang ayah dan seorang adik laki-lakinya meninggal dunia, Kris menjadi tulang punggung keluarga satu-satunya. Ia menafkahi sebagian kebutuhan ibu dan adik perempuannya. Jika ia menjadi cacat, ia khawatir akan masa depan keluarganya.
Selain luka parah di kaki kirinya, Kris juga mengalami luka berat di sekujur badan karena proyektil bom masuk ke dalam tubuhnya. Karena giginya hancur, dokter mengoperasi rahangnya agar bisa kembali normal dan stabil. Dokter pun memasang selang ke dalam tubuhnya agar dia bisa mengkonsumsi makanan dan obat-obatan. Berbulan-bulan ia makan dan minum hanya dengan cairan seperti susu dan jus.
Setelah menjalani perawatan selama delapan bulan, Kris bisa duduk normal dan jongkok. Ia merasa beruntung karena mendapatkan perawatan medis secara cepat dan intensif. Ia bersyukur hanya butuh perawatan di Indonesia saat rekan-rekannya sesama korban diharuskan menjalani perawatan di luar negeri. Dengan hanya dirawat di dalam negeri, ia bisa ditemani oleh keluarga. “Saya sangat beruntung, saya adalah korban parah pertama yang memperoleh pertolongan di rumah sakit yang bagus. Saya sempat ditawari berobat di luar negeri karena teman-teman yang lain sudah memperoleh perawatan di luar,” kata pria kelahiran Yogyakarta ini.
Kris mengakui bahwa semangat untuk bangkit dari rekan-rekannya sesama korban begitu kuat sehingga ia juga termotivasi untuk berjuang melawan kesakitan. Menurutnya, masih banyak korban lain yang lebih parah darinya. Ada yang harus kehilangan sebagian anggota tubuhnya, bahkan meninggal dunia. Kendati demikian, mereka memilih ikhlas dan bangkit dari keterpurukan. “Saya kagum kepada teman-teman korban. Mereka adalah motivator bagi saya. Pak Iswanto kehilangan satu matanya, Pak Dirman bisa secepat itu ikhlas menerima kenyataan. Syahromi meninggal dunia. Mereka berangkat dari kampung untuk mencari nafkah untuk keluarganya,” kata dia mengenang teman-temannya sesama korban Bom Kuningan 2004.
Selain itu, Kris mengaku dukungan keluarga menjadi alasan untuk bangkit. Ia tak mau keluarganya menderita karena dirinya. Sebagai tulang punggung ia merasa bertanggung jawab untuk menanggung kebutuhan ibu dan adiknya. Ia merasa menjadi pengecut kalau hanya menjadi beban, padahal dia satu-satunya laki-laki dalam keluarganya. “Keluarga saya sangat berharap saya selamat. Adik saya menangis berhari-hari tidak mau kehilangan kakaknya. Dia takut kehilangan kakaknya lagi,” katanya.
Meskipun mengalami berbagai kesakitan, Kris mengaku telah memaafkan pelaku aksi teror. Menurutnya, apa yang dilakukan teroris bukan ajaran agama. Pasalnya, jika benar salah satu agama mengajarkan kerusakan, tak mungkin rekan-rekan dekatnya, bahkan keluarganya berbuat baik kepadanya. Padahal mereka menganut agama yang berbeda-beda. “Saya tidak marah karena agama. Semua yang menemani saya selama masa penyembuhan adalah muslim. Dari sana saya berpikir, mereka orang-orang muslim, adalah orang-orang baik,” ujarnya. Kris merasa apa yang terjadi kepadanya tak lepas dari kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Ia bersyukur karena diberi kesembuhan dari luka berat, yang secara logika tak mungkin bisa diobati. Baginya, hal itu juga tak luput dari keterlibatan Tuhan. Ia merasa masih diberi kesempatan untuk hidup. Karena itu ia bertekad untuk memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. “Saya survive, karena saya dikasih kesempatan hidup. Kehidupan ini terus berjalan. Saya harus lebih baik,” pungkasnya. [AH]