Korban Bom Kuningan Merasa Beruntung Meski Cidera
Aliansi Indonesia Damai- 9 September 2004 menjadi kenangan memilukan bagi Christian Salomo. Ia menjadi salah satu korban ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia. Chris, sapaan akrabnya adalah seorang petugas keamanan di Kedubes negeri Kanguru itu.
Pagi itu, Chris yang hendak dipromosikan sebagai supervisor penuh semangat berkoordinasi dengan petugas keamanan lain. Ketika sedang berdiskusi, ledakan besar terjadi. Sontak tubuh Chris terlempar. “Saya terpental cukup jauh, pandangan saya memudar dan yang terlihat hanya asap putih,” ujar Chris dalam salah satu kegiatan AIDA.
Baca juga Memahami Rencana Tuhan
Chris merasa sebuah benda jatuh mengenai tubuhnya. Sesaat kemudian panas menjalari tubuhnya. Ia ingin berlari menyelamatkan diri. Namun sayang usahanya gagal karena kaki kirinya yang berlumuran darah tak bisa digerakkan sama sekali. “Cukup lama saya di tempat kejadian dan tak ada yang menolong. Untung ada rekan kerja saya dan dua tukang kebun yang membantu mengantar saya ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC),” tuturnya.
Karena RS MMC penuh dengan pasien korban bom serupa, Chris dievakuasi ke RS Medistra. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan bahwa rahangnya rusak, tulang kakinya patah, bahkan kaki kirinya nyaris harus diamputasi. Tak kurang dari 600 jahitan menempel di tubuhnya.
Baca juga Meluaskan Jiwa Merangkul Luka
Chris sempat mengalami frustrasi dan kekecewaan atas apa yang menimpanya. “Saya sempat kecewa pada Tuhan. Kenapa ini harus terjadi pada saya ketika saya berjuang untuk menjadi tulang punggung keluarga,” cerita Chris mengenang gejolak hatinya saat itu.
Di tengah rasa putus asa itu, dokter yang merawatnya tak pernah berhenti memberikan motivasi dan semangat agar cepat sembuh. “Saya beruntung, dokter yang merawat saya itu selalu memberikan motivasi di masa sulit itu. Bahkan ia memberi Alkitab untuk saya. Katanya, itu adalah buku yang tak akan pernah habis saya baca,” kata Chris.
Baca juga Refleksi 2 Tahun ‘Peristiwa Iman’ 13 Mei 2018
Keberuntungan lain bagi Chris adalah ia tak perlu dirujuk jauh ke luar negeri seperti rekan-rekan kerjanya yang senasib. “Saya beruntung dokter yang menangani saya adalah salah satu dokter terbaik yang biasanya juga menangani pasien di luar negeri. Jadi saya tidak perlu dirujuk ke luar karena sudah mendapatkan penanganan yang terbaik,” ungkapnya.
Chris mengaku luka fisik dan psikis yang ia alami tak mudah sembuh. Namun ia juga tak mau berlama-lama bergelut dengan pilu. Ia mencoba melawan rasa benci, takut, juga amarahnya. Kunjungan kerabat dan pertemuannya dengan sejumlah korban lain membuatnya makin kuat menghadapi musibah itu.
Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya
“Semangat saya tumbuh karena saya merasa masih merasa beruntung dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Masih banyak korban lain yang kondisinya jauh lebih parah. Ada yang harus kehilangan sebagian anggota tubuhnya, bahkan meninggal dunia. Kendati demikian, mereka memilih ikhlas dan bangkit dari keterpurukan. Maka saya pun seharusnya bisa lebih dari itu,” ucapnya.
Rasa beruntung yang kerap Chris rasakan membuatnya perlahan bangkit dari keterpurukan. Ia tak ingin menyia-nyiakan hidupnya. Ia merasa masih diberi kesempatan untuk hidup, karena itu bertekad memperbaiki diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Meski lukanya tak hilang sepenuhnya, kini Chris lebih memilih untuk berdamai dan memaafkan para pelaku pengeboman.