Home Pilihan Redaksi Kurnia Widodo Menjadi Pribadi Baru

Kurnia Widodo Menjadi Pribadi Baru

“Berkat AIDA, saya bisa kembali lagi ke sekolah saya di Lampung, tempat saya terpapar virus radikal. Tapi kini saya ke sana sebagai pembawa misi perdamaian.”

Demikian sepenggal penuturan Kurnia Widodo dalam salah satu acara AIDA. Pria kelahiran Medan 46 tahun silam ini punya masa lalu yang kelam. Dia pernah menjadi bagian dari kelompok prokekerasan yang dalam beberapa tahun mengusik kedamaian Indonesia. 

Kurnia tidak pernah menyangka dirinya mengalami perubahan ekstrem dalam hidupnya. Dimulai ketika dirinya marah melihat kondisi umat Islam yang kian terpojokkan. Perasaan itu mengantarkannya pada pemahaman-pemahaman prokekerasan. Dia berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain, dengan keyakinan bahwa langkahnya itu adalah satu-satunya cara membela agama. 

Hingga pada akhirnya, perjumpaan Kurnia dengan korban terorisme menyentil hatinya. Melihat kondisi korban, baik itu yang terkena langsung ataupun yang tidak langsung, mengusik sisi kemanusiaan dirinya. Selama ini dia mengaku berjuang atas dasar agama, namun faktanya mengorbankan banyak orang yang tidak bersalah. 

Pertobatan Kurnia Widodo, selain mengubahnya menjadi pribadi yang baru, juga mengantarkannya pada cara baru dalam memandang hidup. Kurnia berpandangan, apabila dihadapkan pada suatu permasalahan, tidak seharusnya disikapi dengan emosi. Karena itu dapat menjadi awal kehancuran. Bujukan untuk melancarkan teror diawali dengan kebencian dan kemarahan, seperti yang dialami Kurnia muda dulu. 

Apalagi di tengah maraknya penggunaan teknologi media sosial dewasa ini, di mana banyak sekali konten-konten yang berisi hoaks, provokasi, dan hate speech, dapat memengaruhi jiwa-jiwa muda yang masih terlalu labil. Jika Kurnia muda dulu terjerumus dalam dunia kekerasan, padahal media sosial waktu itu bahkan belum ada, sungguh betapa rentannya anak-anak muda sekarang ini terpapar paham kekerasan. 

Inilah yang dikhawatirkan oleh Kurnia. Dia sangat memahami bahwa kebencian adalah alat untuk memengaruhi. Kurnia mengingatkan bagaimana kelompok teror justru menjadikan kebencian sebagai instrumen ‘dakwah’, mengajak orang untuk ikut berbuat kerusakan. Padahal, dakwah seharusnya berwujud kesejukan dan keselamatan, sesuai dengan alasan kenapa agama itu diturunkan. 

Agama Islam sejatinya mengajarkan kebaikan, berpredikat sebagai rahmatan lil alamin. Kurnia pun menyadari bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai, bukan dengan kekerasan. Hal tersebut membuat Islam bisa diterima dan bahkan menjadi agama mayoritas di tanah air. Dia mengakui kekerasan yang dilakukan oleh mantan kelompoknya justru mencoreng citra Islam yang baik dan ramah. 

Cara terbaik untuk membalas kekerasan itu, menurut Kurnia, bukanlah dengan melakukan kekerasan pula, melainkan dengan kelembutan. Kurnia menceritakan pengalaman hidupnya berkaitan dengan larangan membalas kekerasan dengan kekerasan ini. Tidak semua orang bisa insaf oleh kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan siklus kebencian tiada akhir. 

Kurnia berkeyakinan, bahwa nasihat bijak yang menyentuh hati adalah solusi terampuh. Kurnia mengakui bahwa dia berubah bukan karena kekerasan. Dia berubah karena dialognya bersama dengan orang-orang yang memiliki pemahaman berbeda dan para korban yang menyentuh relung hatinya. Kurnia dibuat merenung, bagaimana kalau kondisi serupa terjadi pada dirinya atau keluarganya. Tentu itu akan sangat menyakitkan. Ini semakin menegaskan bahwa manusia baru akan sadar dan memahami satu sama lain ketika mereka berbagi penderitaan. 

Sebagai duta perdamaian, Kurnia menyerukan agar menghilangkan permusuhan di antara sesama. Sebaliknya menumbuhkan semangat persaudaraan dan persahabatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *