Menggencarkan Diplomasi Kemanusiaan
Diplomasi antar bangsa kini menjadi kebutuhan yang tak terelakan. Apalagi di sejumlah kawasan masih terjadi peperangan atau konflik antar negara maupun antar bangsa. Diplomasi adalah instrumen komunikasi yang menghubungkan satu bangsa dengan bangsa lainnya. Dalam artian umum, diplomasi adalah seni komunikasi yang bertujuan untuk mencapai kepentingan suatu negara, termasuk menyebarkan nilai-nilai yang dianut. Diplomasi bisa juga berarti langkah untuk mencegah atau menghentikan perang.
Berdasarkan tingkatannya, diplomasi terdiri dari first-track diplomacy dan second-track diplomacy. First-track diplomacy adalah jalur diplomasi resmi antara satu negara dengan negara lainnya. Diplomasi ini mencakup urusan tingkat tinggi dalam berbagai aspek yang sejalan dengan kepentingan nasional negara terkait. Karena itu, tipe diplomasi ini terkadang memiliki keterbatasan. Karakteristik first-track diplomacy yang kaku dan resmi membuat pesan komunikasi tidak seutuhnya bisa tersampaikan. Di sisi lain, negara yang menerima pesan belum tentu mau mendengarkan atau menerimanya jika tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya.
Baca juga Penyimpangan Pemahaman Agama Kelompok Ekstrem (Bagian 2- Selesai)
Keterbatasan first-track diplomacy sangat terasa dalam beberapa kasus konflik dunia. Misalnya, negara-negara ASEAN gagal menekan Junta Militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Begitu pun dengan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang gagal mengatasi krisis di Yaman. Bahkan, konflik Israel dengan Palestina yang sudah berlangsung bertahun-tahun gagal dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Keterbatasan first-track diplomacy tersebut membuat praktik diplomasi kini menjadi lebih fleksibel. Diplomasi tidak lagi terbangun antara negara, tapi kini bisa terjalin langsung antara kelompok sipil lintas negara (people to people diplomacy). Diplomasi ini dikenal sebagai second-track diplomacy.
Baca juga Penyimpangan Pemahaman Agama Kelompok Ekstrem (Bagian pertama)
Second-track diplomacy terjadi karena negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam pergaulan internasional. Demokrasi dan globalisasi telah memberikan pengakuan sekaligus posisi yang kuat bagi kelompok sipil untuk terlibat dalam pergaulan internasional. Kedaulatan negara tidak lagi menjadi penghalang mereka untuk aktif menyuarakan nilai-nilai yang dianutnya.
Pada tahap inilah, diplomasi kemanusiaan mulai mendapatkan panggung. Diplomasi kemanusiaan tidak membawa kepentingan apapun selain nilai-nilai kemanusiaan. Diplomasi kemanusiaan dapat berpenetrasi ke semua kalangan, lintas agama, ras, atau sukunya.
Baca juga Miskomunikasi dan Empati
Dalam konteks upaya menyelesaikan konflik Israel-Palestina, perlunya penguatan diplomasi kemanusiaan melalui dialog lintas iman/agama dan etnis. Sebab langkah politik terbukti telah gagal membangun perdamaian terhadap dua negara tersebut. Karena itu, kelompok sipil dari komunitas Muslim, Kristen, dan Yahudi harus lebih menggencarkan dialog tentang pentingnya harmoni dan hidup berdampingan. Ketika kelompok sipil bersatu, maka akan lebih mudah mengorganisir tekanan kepada pengambil kebijakan untuk menghentikan konflik secara permanen.
Masalah akut dalam konflik Israel-Palestina adalah masih adanya kelompok di masing-masing barisan kedua negara yang berhasrat untuk menghancurkan lawannya. Misalnya, masih ada orang-orang Yahudi yang ingin melenyapkan warga Arab Muslim dari Yerusalem dan sekitarnya. Sebaliknya, ada pula warga Muslim yang berkeyakinan wilayah itu hanya untuk warga Palestina. Doktrin ‘saling menghancurkan’ tersebut akan terus memperburuk krisis dan proses penyelesaian konflik bagaikan jauh panggang dari api. Kedua kubu harus diarahkan untuk memahami bahwa eksistensi Israel dan Palestina adalah realita yang harus diterima.
Baca juga Sosok Pendukung Kebangkitan Penyintas Terorisme
Begitu pun dengan krisis Rohingya di Myanmar. Meskipun krisis di negara tersebut termasuk krisis yang paling berdarah di kawasan Asia Tenggara, namun negara-negara ASEAN tidak mampu menyentuh akar persoalan, apalagi menyelesaikannya. Kuatnya konsensus politik ASEAN yang dikenal dengan prinsip non-intervensi mengunci langkah negara-negara anggota untuk ikut campur menengahi pertikaian tersebut. Krisis semakin memburuk ketika kelompok agama mayoritas di Myanmar justru ikut mempersekusi etnis Rohingya.
Pada akhirnya, fokus diplomasi kemanusiaan yaitu bagaimana setiap manusia bisa mendapatkan hak dasarnya, seperti hak untuk hidup, hak berpendidikan, hak beribadah, hak bekerja, hingga hak merasa aman. Atas dasar itulah, diplomasi kemanusiaan diyakini memiliki potensi besar dalam menyelesaikan konflik. Diplomasi kemanusiaan memungkinkan manusia untuk berbicara dari hati ke hati tanpa adanya kepentingan terselubung.
Baca juga Menerima untuk Mengikhlaskan