05/10/2021

Dialog Mahasiswa UHO Kendari dengan Ahli Terorisme

Aliansi Indonesia Damai- AIDA bekerja sama dengan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Sulawesi Tenggara menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, Sabtu (02/10/2021). Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Solahudin, ahli jaringan terorisme.

Solahudin memaparkan perkembangan mutakhir ekstremisme kekerasan di Indonesia. Merespons paparannya, salah seorang peserta dari Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari menanyakan tentang sejarah awal mula terorisme di Indonesia, serta bagaimana mengategorikan sebuah tindakan sebagai aksi terorisme.

Baca juga Terorisme bukan Ajaran Islam

Menurut Solahudin, terorisme di Indonesia bukan hal yang baru. Asal-usul kemunculannya bisa dilacak dari masa pergerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. DI/NII menjadi cikal bakal kelompok teror di Indonesia. “Kelompok ini adalah kelompok pertama yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka dengan motif ideologi,” ujarnya. 

Solahudin mengutip salah satu riset yang menyatakan bahwa korban kekerasan gerakan DI/NII mencapai lebih dari 200.000 warga sipil. DI/NII juga menjadi cikal bakal Jamaah Islamiyah (JI) yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai korporasi terorisme.

Baca juga Wawasan Wasathiyah Tangkal Ekstremisme

Jika dirunut lebih jauh, akar terorisme bahkan telah muncul pada zaman Khilafah Rasyidah, di mana kaum Khawarij mengkafirkan para sahabat Rasulullah Saw serta melakukan aksi penumpahan darah mereka. “Semua itu dilakukan berbasis pemahaman agama,” ucap Solahudin.

Menjawab pertanyaan kedua, Solahudin mengutip definisi terorisme menurut UU No. 5 Tahun 2018 yang mengatakan bahwa terorisme adalah aksi kekerasan yang didasari oleh motif ideologi. “Aksi perampokan menjadi aksi kriminal biasa kalau tidak punya motif ideologi. Namun lain cerita kalau ada motif ideologi,” katanya.

Baca juga Imam Besar Istiqlal: Amalkan Al-Qur’an secara Objektif

Ia mencontohkan kasus perampokan Bank CIMB Niaga yang terjadi di Medan pada tahun 2010. Aksi tersebut awalnya dikira sebagai aksi perampokan biasa. Namun dari hasil penyidikan dan persidangan di pengadilan, para pelaku juga dilatari motif ideologi. Mereka memandang perbankan adalah institusi yang salah, bukan merupakan ajaran Islam. Karena itu mengambil harta dari institusi tersebut diperbolehkan untuk mendanai perjuangan mereka. Walhasil aksi tersebut dikategorikan sebagai terorisme.

Dalam hemat Solahudin, cara termudah untuk mengetahui ada atau tidaknya motif ideologi dari sebuah aksi adalah dengan mengikuti persidangan. Pasalnya di forum pengadilan tersebut, seluruh informasi dapat diverifikasi sehingga memudahkan untuk memahami motif dari tindakan yang dilakukan. [WTR]

Baca juga Dialog Ulama Sulsel dengan Penyintas Bom Thamrin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *