05/09/2021

Imam Besar Istiqlal: Amalkan Al-Qur’an secara Objektif

Aliansi Indonesia Damai- “Sebagian orang Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang sangat subjektif, oleh kepentingan subjektif, dan untuk tujuan-tujuan subjektif pula. Padahal Al-Qur’an adalah kitab objektif, dan secara objektif diterapkan dalam masyarakat.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Nasaruddin Umar, saat menjadi narasumber Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama, yang diselenggarakan AIDA, akhir Agustus lalu. Kegiatan diikuti puluhan tokoh agama dari berbagai organisasi Islam wilayah Sulawesi Selatan.

Baca juga Dialog Ulama Sulsel dengan Penyintas Bom Thamrin

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menjelaskan, subjektifitas memahami Al-Qur’an seringkali menimbulkan persoalan dan kontradiksi di masyarakat. Pola ini biasanya dilakukan oleh kelompok ekstrem, yaitu aliran yang berusaha melakukan perubahan dan pembaharuan dengan menempuh cara keras dan ekstrem.

Dalam hematnya, ada beberapa cara pandang mereka yang kurang tepat. “Melakukan interpretasi dalil agama sesuai dengan ideologinya, memotong-motong ayat atau hadis, tidak mencantumkan sebab turunnya ayat atau hadis sesuai dengan wurud hadis, dan menganggap penafsiran yang berbeda dengan mereka adalah salah,” ujarnya menjelaskan ciri-ciri kelompok ekstrem tersebut.

Baca juga Jubir Wapres Mendorong Berdakwah dengan Ibroh

Dari persoalan tersebut, Nasaruddin mengingatkan bahwa umat muslim harus kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Islam adalah agama universal yang berisi norma-norma dan nilai-nilai. Dalam Al-Qur’an, Islam disebutkan secara universal bukan partikular. Islam adalah agama yang sempurna, namun tidak memaksakan umatnya untuk mengamalkan agama sesempurna mungkin, jika masih memiliki keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia.

“Maka dari itu tidak boleh secara sepihak disalahkan atau dikafirkan karena keterbatasan tadi atau sebaliknya tidak boleh juga disepelekan. Tetap harus berusaha menjalankan agama sesuai dengan kemampuan masing-masing,” ujarnya.

Baca juga Penyintas Bom Ajak Ulama Sulsel Bangun Perdamaian

Menurut dia, secara bahasa Islam bermakna damai, tunduk, dan pasrah. Karenanya tidak mungkin Islam menjadi agama kekerasan. “Jika ada orang memerkenalkan Islam dengan cara-cara kekerasan maka itu bukan ajaran Islam,” ucapnya tegas.

Nasarudin mengutip hadis Nabi, bahwa dari 6666 ayat dalam Al-Qur’an, jika dipadatkan intinya adalah Al-Fatihah. Jika Al-fatihah dipadatkan lagi intinya pada ayat pertama, yaitu kata Ar Rahman dan Ar Rahim. “Jika Al-Qur’an dipadatkan menjadi satu kosa kata, maka kosa kata itu adalah Ar Rahman, yaitu cinta,” tuturnya.

Baca juga Direktur AIDA: Tokoh Agama Benteng Ekstremisme

Maka dalam hematnya, jika ada orang memerkenalkan Al-Qur’an dengan kebencian dan kemarahan, sejatinya ia tidak memahami hakikat Islam. Dicontohkannya, ketika ada salah satu sahabat Nabi baru masuk Islam tapi tidak mau shalat. Nabi tidak memarahi dan membenci, namun mendakwahinya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, sehingga dia mau melaksanakan shalat dengan ikhlas dan penuh kesadaran. [FKR]

Baca juga Jubir Wapres Mendorong Berdakwah dengan Ibroh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *