Home Berita Membingkai Perspektif Korban dalam Pemberitaan di Media
Berita - 18/12/2017

Membingkai Perspektif Korban dalam Pemberitaan di Media

Penyintas Bom JW Marriott 2003, Sari Puspita dan Penyintas Bom Kuningan 2004, Mulyono, berbagi kisah dalam kegiatan Short Course Jurnalistik Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Medan, Sabtu (11/12/2017).
Dok. AIDA – Penyintas Bom JW Marriott 2003, Sari Puspita dan Penyintas Bom Kuningan 2004, Mulyono, berbagi kisah dalam kegiatan Short Course Jurnalistik Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Medan, Sabtu (11/12/2017).

 

“Kalau soal sakit, sampai sekarang saya masih merasakan sakit. Tapi, meskipun sakit saya punya iman kepada Allah kalau saya sakit insyaallah akan menggugurkan dosa-dosa saya.” Demikian diungkapkan Mulyono, penyintas Bom Kuningan 2004, dalam Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media di Medan, Sumatera Utara pertengahan Februari lalu.

Dari ledakan bom mobil dengan bahan baku seberat 250 kg itu dia mengalami luka serius di sejumlah bagian tubuh. Salah satu cedera paling parah yang dideritanya adalah kerusakan rahang bagian bawah. Dia menjalani operasi pemasangan rahang buatan hingga ke Singapura dan Australia. Setelah satu dekade lebih peristiwa berlalu, rasa sakit tak tertahankan di rahang hingga menjalar ke kepala masih sering dia alami.

Musibah teror telah lama berlalu namun baru sekitar setahun terakhir Mulyono dapat memanfaatkan bantuan rehabilitasi medis yang diberikan negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sesuai amanat Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Beberapa kali biaya dia berobat untuk sakit yang ditimbulkan akibat bom ditanggung LPSK. Kabar mengejutkan dia terima akhir tahun lalu bahwa bantuan rehabilitasi medis korban terorisme bakal distop dengan alasan pemotongan anggaran.

Senada dengan Mulyono, Sari Puspita, penyintas aksi teror Bom JW Marriott 2003 berbagi kisah dalam kegiatan Short Course. Saat ledakan terjadi dia terpental hingga menyentuh plafon Restoran Syailendra di Hotel JW Marriott kemudian jatuh ke lantai. Sejak kejadian hingga sekarang dia mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan kompensasi yang dijanjikan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, dalam kegiatan mengatakan bahwa para insan media berperan besar untuk mengadvokasi korban terorisme agar mendapatkan hak-haknya sesuai yang diatur Undang-Undang. Dia berpandangan bahwa anggaran bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial bagi korban terorisme tak boleh dihentikan. “Analoginya seperti bencana alam, mana mungkin anggaran untuk menangani bencana dihilangkan. Terorisme ini tak ubahnya bencana kemanusiaan. Anggaran untuk mengobati korban harus selalu tersedia,” ujarnya.

Dia mendorong para jurnalis peserta Short Course untuk mengedepankan perspektif korban dalam memberitakan isu terorisme. Perspektif korban, kata dia, adalah keberpihakan insan media dalam membuat produk jurnalisme yang dapat mendorong pemenuhan hak-hak korban serta memberikan peran kepada mereka dalam kampanye perdamaian.

“Selama ini kita lupa bahwa sejak Bom Bali 2002 sampai Bom Thamrin 2016 kemarin, hak kompensasi untuk korban belum pernah terbayarkan karena terhalang syarat putusan pengadilan. Dan, kita juga lupa bahwa korban memiliki potensi luar biasa untuk membangun perdamaian di masyarakat,” kata dia. Berdasarkan pengalaman AIDA, korban terorisme memainkan peran yang signifikan dalam mengingatkan masyarakat akan pentingnya perdamaian, serta secara bersamaan menganjurkan untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah kehidupan.

Dalam kegiatan di Medan, Tim Perdamaian AIDA yang terdiri atas korban dan mantan pelaku terorisme turut berbagi pengalaman. Kehadiran Sudirman A. Thalib, penyintas aksi teror Bom Kuningan 12 tahun lalu, dan Iswanto, mantan anggota kelompok teror, menjadi potret rekonsiliasi dan persatuan antara dua elemen masyarakat yang dahulu berseberangan, namun kini bersama menyuarakan perdamaian.

Sudirman mengaku telah ikhlas menerima cobaan hidup, menjadi korban teror bom hingga kehilangan sebelah dari indra penglihatannya, serta masih harus mengonsumsi tujuh butir obat setiap hari. “Sungguh bagi saya, ujian yang saya pikir sudah selesai ternyata ada lagi dikasih sama Allah. Akhirnya sampai hari ini saya memakai mata plastik, dan alhamdulillah saya bersyukur masih bisa bangkit, masih bisa survive,” katanya. Ia menambahkan bahwa dia tak mendendam kepada mantan pelaku.

Sementara itu, Iswanto meskipun tidak tersangkut kasus peledakan Bom Kuningan 2004, sebagai orang yang pernah tergabung dengan jaringan terorisme dia mengucapkan permohonan maaf kepada Sudirman. “Saya punya komitmen bersama tim AIDA dan para korban untuk mengampanyekan perdamaian supaya tidak ada lagi kekerasan terorisme seperti yang dulu,” ujarnya.

Menurut Hasibullah, dari penuturan kisah Tim Perdamaian dapat dipetik dua nilai. Kisah korban mengajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, sedangkan dari mantan pelaku didapatkan bahwa ketidakadilan tidak semestinya dibalas dengan ketidakadilan.

Seorang peserta menyampaikan gagasan dalam kegiatan. Dia mengatakan, dari kesaksian para penyintas didapatkan fakta bahwa penanganan korban terorisme selama ini masih bermasalah. “Orang berdarah masa kita menunggu regulasi. Ini masalah besar yang selama ini memang tidak terakomodir di media. Mungkin ada kealpaan kawan-kawan jurnalis juga selama ini,” kata dia. Dari itu, dia mengajak para insan media untuk berkomitmen mengangkat perspektif korban dalam memberitakan isu terorisme. [MLM]

 

 

 

 

 

*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XII April 2017.