Suara yang Tak Boleh Terlupakan
Aliansi Indonesia Damai- Pagi itu 9 September 2004 sinar matahari menyapa bumi dengan cerah. Sinarnya memberikan semangat bagi para “pejuang rupiah” untuk menjemput rezeki. Demikian pun dengan pasangan suami istri Suryadi dan Yuni Arsih.
Keduanya bersiap untuk menjalani rutinitas hariannya dengan cinta dan harapan. Yuni mengurus buah hatinya dan merapikan rumah, sementara sang suami berpamitan untuk berangkat bekerja di Kedutaan Besar Australia Jakarta sebagai tukang kebun (gardener).
Baca juga “Bertemu Sesama Korban Menambah Semangat Hidup”
Sekira jam 11, Yuni mendapatkan kabar dari pihak Kedubes Australia. Mobil box berisi ratusan kilogram bahan peledak meledak di depan tempat kerja suami Yuni. Tragedi teror tersebut tak hanya menghancurkan apa saja yang ada di sekitarnya tapi juga merenggut banyak nyawa termasuk Suryadi. Peristiwa tersebut seketika merobek kehidupan Yuni dan keluarganya.
Sudah sembilan belas tahun berlalu namun peristiwa nahas yang menimpa suaminya masih membekas dalam diri Yuni. Bahkan ketika menceritakan kembali apa yang dialami dirinya dan suaminya kala itu, Yuni masih diliputi kesedihan dan suaranya bergetar.
Baca juga Naluri Menolong Sesama Insan
Dalam kegiatan Pelatihan Petugas PK Bapas yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Purwokerto akhir Maret lalu, suara Yuni terasa bergetar saat mengenang dan menceritakan yang menimpa mendiang suaminya dan anaknya yang masih balita menangis tatkala Suryadi hendak berangkat kerja. Anak kecil yang polos itu tidak bisa merasakan bahwa pagi itu akan menjadi perpisahan yang abadi dengan sang ayah.
Ketika Yuni tengah menatap layar televisi, berita tragis teror bom di depan Kedutaan Besar Australia Jakarta mencuat dengan cepat. Dalam detik-detik keputusasaan, ia berusaha menghubungi suaminya melalui telepon, dan berharap sang suami masih menerima panggilan teleponnya. Namun panggilan teleponnya tak pernah diangkat oleh sang suami.
Baca juga Kedamaian di Dalam Diri
Hingga saat di mana sebuah panggilan telepon menghancurkan hati dan harapannya. “Jangan kaget ya ibu, sabar ya ibu, suami ibu meninggal,” bunyi suara telepon dari pihak kedutaan.
Tak ada kata-kata yang mampu melukiskan betapa rapuhnya hati Yuni saat itu. Ia hanya bisa menangis, meratapi kehilangan yang begitu besar. Namun dalam kepedihan itu, ia harus tetap berdiri tegar karena ia bukan hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk buah hatinya yang masih kecil.
Baca juga Mensyukuri “Hidup Kedua”
Dengan tekad yang kuat, Yuni memutuskan untuk membesarkan anaknya seorang diri. Dia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi sang anak, memberikan kasih sayang dan perlindungan walaupun hatinya masih terluka dan remuk.
Yuni tidak menyerah dengan kesedihan atau keterpurukan tapi berusaha menghadapi tantangan meski dengan tetes air mata. Ia ingin memberikan teladan sekaligus panutan bagi anaknya tentang pentingnya kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi ujian kehidupan.
Baca juga Mengikis Kebencian Menuai Perkawanan
Kini Yuni dan buah hatinya berhasil melampaui badai yang pernah menerpanya. Meski suara sang suami telah pergi untuk selamanya, namun suaranya tetap bergema dalam hati Yuni, mengingatkannya akan kekuatan dan keberanian untuk terus maju. “Suara yang Tidak Boleh Terlupakan” adalah kisah tentang kepedihan, kekuatan, dan keberanian seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang menjadi korban bom terorisme. Kisah tentang bagaimana cinta dan harapan tetap berkobar di tengah kegelapan, dan bagaimana suara sang suami tetap hadir dalam setiap langkah yang diambil oleh Yuni dan anaknya.