Menggugah Semangat Perdamaian Kaum Aktivis di Unmal
Aliansi Indonesia Damai- AIDA menggelar kampanye perdamaian di Universitas Malahayati (Unmal) Bandar Lampung pada akhir November tahun lalu. Agenda kampanye perdamaian tersebut dikemas dalam Diskusi “Mengukuhkan Peran Mahasiswa dalam Membangun Perdamaian.” Kegiatan diselenggarakan dengan tujuan untuk mendorong kaum terpelajar membuat gerakan nyata yang menyuburkan semangat perdamaian dengan mengambil inspirasi dari kisah korban dan mantan pelaku terorisme.
Kegiatan dihadiri oleh 68 mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan di Universitas Malahayati. Mereka menyimak penuturan kisah korban aksi teror bom yang pernah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pada kurun awal 2000-an. Dari kisah korban dapat diserap pembelajaran ketangguhan untuk bertahan dari cobaan berat, serta bangkit semakin kuat dari keterpurukan hidup.
Baca juga Menumbuhkan Budaya Memaafkan di Kalangan Generasi Muda
Di samping itu, para peserta juga menimba wawasan dari pengalaman mantan anggota kelompok teroris yang telah insaf meninggalkan jalan kekerasan. Pertobatan mantan pelaku menjadi asupan berharga bagi mahasiswa dalam menghadapi banjir disinformasi yang tak terelakkan di era digital ini.
Bertindak sebagai fasilitator dan pemantik diskusi ialah dua mahasiswa tuan rumah yang merupakan alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa yang diselenggarakan AIDA sebelumnya. Mereka adalah Octysa Tri Anjani, mahasiswi jurusan psikologi Unmal, dan Mifta, mahasiswa jurusan manajemen Unmal.
Baca juga Perdamaian Wajib Diperjuangkan
Octysa menjelaskan faktor-faktor yang membuat seseorang bisa terjerumus ke dalam jaringan teror, belajar dari beberapa mantan teroris yang pernah ditemuinya secara langsung dalam Pelatihan AIDA. Faktor-faktor yang dimaksud, kata dia, di antaranya adalah hubungan kekeluargaan dan lingkungan pertemanan.
Mahasiswi berambut panjang ini mencontohkan kisah hidup Ali Fauzi, salah satu mantan petinggi kelompok teroris yang kini aktif bergerak menyuarakan perdamaian. Octysa menceritakan awalnya Ali Fauzi ialah orang biasa. Di masa remaja ia merupakan santri biasa yang menimba ilmu di sebuah pesantren yang tidak pernah mengajarkan pemikiran atau gerakan kekerasan.
Baca juga Mahasiswa Unila: “Kisah Korban dan Mantan Pelaku Penuh Wawasan”
“Tapi, karena ajakan dari kakaknya yang tinggal di Malaysia, dia menjadi terpapar dan akhirnya bergabung dengan gerakan terorisme. Jaringan pertemanan Ali Fauzi juga mendukung bahkan seakan-akan mengarahkannya ke kelompok itu,” ujarnya.
Fasilitator berikutnya, Mifta, menjelaskan pembelajaran yang bisa digali dari perspektif korban terorisme. Ia pun menceritakan pengalamannya bertemu dengan beberapa orang korban teror bom dalam Pelatihan AIDA. Para korban, kata dia, merasakan penderitaan yang teramat buruk akibat ledakan bom.
Baca juga Mahasiswa Duta Perdamaian Bangsa
Salah seorang korban bom yang ditemui Mifta adalah Sudirman, korban Bom Kuningan 2004. Sudirman menderita cedera pada tangan dan matanya, sehingga kesehatannya tidak lagi prima seperti sebelum insiden. Meskipun merasakan penderitaan hidup, Sudirman berlapang hati memaafkan mantan pelaku. Meski tidak bisa melupakan tragedi masa lalu itu, ia ingin beranjak melampaui penderitaan.
Mifta mengingat kata-kata yang menginspirasi dari Sudirman. “Pak Sudirman mengajarkan kejahatan tidak dibalas dengan kejahatan. Motivasi saya ikut kegiatan AIDA karena AIDA ini punya gerakan yang sangat positif untuk menyebarluaskan perdamaian,” tuturnya.
Baca juga “Kita Harus Lebih Kritis dan Tidak Mudah Terpengaruh”
Salah seorang peserta mengajukan pertanyaan dalam Diskusi. Ia menyoroti adanya stigma terorisme yang kerap disematkan kepada umat agama tertentu.
Menjawab pertanyaan itu, Octysa menyatakan stigma tersebut muncul tergantung pada persepsi masing-masing individu. Satu sisi memang tidak dapat dipungkiri bahwa rata-rata pelaku teror menggunakan ajaran agama sebagai landasan aksinya. Namun, Octysa menegaskan bahwa terorisme pada dasarnya tidak terkait dengan ajaran agama tertentu. Adapun orang-orang yang secara serampangan menafsirkan ajaran agama untuk menjustifikasi perbuatan salahnya, itu adalah tanggung jawab pribadi mereka.
Baca juga Mahasiswa UML Belajar Resiliensi dari Kisah Penyintas
Mifta menambahkan, di situlah letak pentingnya peran mahasiswa dalam membentengi masyarakat dari pengaruh-pengaruh paham kekerasan. “Peran mahasiswa adalah dengan ditanamkan rasa cinta yang tinggi terhadap bangsa, juga pentingnya memahami agama, karena agama itu sangat sensitif sekali. Jangan sampai salah memilih lingkaran pertemanan atau guru yang bisa menjurus ke radikalisme,” ujarnya berpesan. [FAH]
Baca juga Salah Cara Membela Saudara