Mengawal Implementasi UU Antiterorisme

Jumat, 25 Mei 2018, Undang-undang (UU) Antiterorisme versi baru resmi disahkan. Meskipun terkesan ‘reaktif’ -setelah beberapa waktu sebelumnya terjadi kerusuhan tahanan kasus terorisme di Mako Brimob Depok serta aksi bom bunuh diri di Surabaya- kesepakatan pemerintah dan parlemen dalam menyelesaikan proses revisi yang memakan waktu dua tahun layak diapresiasi.
Dalam UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut setidaknya ada tiga hal yang menjadi poin penting perbaikan. Pertama, adanya penguatan pencegahan terorisme. Penguatan yang dimaksud adalah perluasan wewenang Polri dalam menindak individu atau kelompok yang diduga merencanakan terorisme.
Aspek pencegahan memang perlu diperkuat untuk menanggulangi kenekatan para ekstremis, terutama yang berafilisasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah –belakangan mengubah identitas menjadi IS- yang tak mensyaratkan pelaku untuk berada dalam struktur organisasi teroris. Insiden teror di tiga gereja di Surabaya disebut-sebut merupakan aksi sel tidur IS yang selama ini tak terendus lantaran polisi tak punya landasan konstitusional untuk menindak pihak-pihak yang diduga merencanakan teror.
Penguatan aspek pencegahan juga berguna untuk menindak orang yang bepergian ke luar negeri untuk membantu atau bergabung dengan kelompok teroris.
Kedua, adanya penguatan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Perluasan wewenang Polri dalam menindak terduga teroris tetap dibatasi oleh koridor HAM. Perspektif HAM menjadi bagian penting dalam UU No. 5/2018 dengan diterapkannya paradigma criminal justice system (sistem peradilan pidana) dalam penindakan pelaku atau terduga pelaku terorisme. Artinya, Indonesia sebagai negara hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi mengedepankan proses hukum yang adil serta melindungi HAM pelaku teror.
Paradigma ini berbeda dengan yang diterapkan oleh negara lain semisal Malaysia dan Singapura yang memakai internal security model di mana peran intelijen sangat tak terbatas dalam menangkap atau menahan orang yang diduga terlibat terorisme. Begitu pula paradigma ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan war model yang diterapkan Amerika Serikat (AS). Bagi pemerintah AS, terorisme tak bisa ditangani hanya dengan menegakkan hukum terhadap pelaku melainkan harus diperangi akar ideologinya. Kebijakan ini diterapkan AS dalam melancarkan serangan ke Afghanistan, Irak, serta saat menumpas IS di Timur Tengah.
Disebutkan dalam UU Antiterorisme baru bahwa baik proses penangkapan, penyidikan maupun proses hukum lainnya “harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip HAM”. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 25 ayat (7) dan (8); serta Pasal 28 ayat (3) dan (4) UU No. 5/2018. Bahkan, setiap penyidik yang melanggar ketentuan HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya bakal dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, penguatan aturan tentang korban terorisme. Penguatan yang dimaksud di sini adalah penyebutan secara gamblang bahwa korban adalah tanggung jawab Negara, serta penjabaran tentang apa saja bentuk tanggung jawab Negara terhadap korban. Secara garis besar tanggung jawab Negara terhadap korban terorisme ada 4, yaitu: penyediaan bantuan medis; rehabilitasi psikososial dan psikologis; santunan bagi keluarga korban meninggal dunia; dan kompensasi.
Aturan tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya pengalaman tak mengenakkan yang dialami sebagian korban terdahulu. Pengakuan beberapa korban teror di masa lalu, pihak rumah sakit tidak langsung memberikan layanan medis bahkan malah mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap pembiayaannya. Kompensasi juga diharapkan dapat segera ditunaikan sebab selama ini –sejak Bom Bali 2002- sebagian besar korban belum mendapatkannya.
Adalah tugas bersama untuk mengawal pelaksanaan UU No.5/2018. Baik pemerintah (kementerian/lembaga terkait), parlemen, maupun masyarakat sipil memainkan peran penting untuk menyukseskan agenda Negara dalam memberantas terorisme dengan tetap mengedepankan prinsip HAM serta menjamin hak-hak korban.