Jiwa Bangsa Merdeka
Oleh: Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
Kemerdekaan dari cengkeraman penjajah bukan begitu saja hasil semangat berapi-api “merdeka atau mati”. Kalau semangat heroik saja, warisan kita hanyalah taman makam pahlawan yang bertebaran di seluruh Nusantara.
Bangunan kokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tegak adalah warisan jiwa merdeka para pendiri republik. Mereka melawan tidak dalam semangat radikal, tetapi dalam kejemihan nalar. Mereka menguasai ilmu yang berkembang di Barat (ekonomi, sosiologi, politik, sejarah, filsafat, kesusastraan), juga teknik-teknik bernegosiasi.
Jiwa merdeka melahirkan visi Indonesia “merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” sebagaimana tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bersatu, berdaulat, adil, dan makmur adalah tujuan Indonesia merdeka. Penjara buatan dan penjara alam hanya memenjara raga, tetapi tidak jiwa merdeka mereka yang diwakafkan untuk kemerdekaan bangsa.
Politik jernih
Bung Karno ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung, atas dakwaan menyebarkan kebencian rakyat kepada bangsa Belanda dan pemerintah serta mengganggu ketertiban umum. Di dalam penjara, ia menyusun pleidoi berjudul Indonesia Menggugat (1929). Pidato pembelaan itu lengkap dengan catatan kaki sampai nomor halaman buku yang dikutip. Nada pembelaan bergelora, tetapi obyektif, tanpa ujaran kebencian dan sentimen primordial.
“Kami tidak pemah mengatakan bahwa kapitalisme=bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme=pemerintah … Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme.” Dibahas pula pergeseran makna imperialisme, diskursus pro dan anti imperialisme di Barat, proteksionisme, sampai sistem dumping.
Ada imperialisme tua-modern. Imperialis tua tak sebatas bangsa-bangsa Barat. Kerajaan Majapahit pun pernah menguasai hampir seluruh Kepulauan Indonesia dan Malaka. Yang mengejutkan, Jepang dimasukkan sebagai bagian dari imperialisme modern meski pada masa itu banyak dielu-elukan sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan bangsa-bangsa terjajah di Asia dari kolonialisme Barat.
Bung Karno membongkar dosa sosial kapitalisme yang oleh Abraham Kuyper, intelektual Belanda, hanya dikatakan sebagai sebuah relasi dagang, een mercantiele betrekking. Akar imperialisme adalah “nafsu akan rezeki”. Hindia Belanda masuk dalam rantai ekonomi kapitalisme modern (yang melahirkan imperialisme modern) sebagai koloni tujuan investasi asing sekaligus pasar yang besar.
Bung Hatta bertahun-tahun dibuang jauh ke pulau (1935-1942), tetapi pikirannya tak berhenti memikirkan jalan kemajuan bangsa. Penjara alam pun berubah jadi seperti akademia Platon. Di Boven Digul, Papua, ia memberikan kursus filsafat ilmu kepada rekan-rekan sepembuangan, diteruskan dengan korespondensi ketika ia dipindahkan ke Pulau Banda Neira. Di kemudian hari, dalam kunjungannya ke Maluku, ia singgah di Neira (1951) dan seorang sahabat lama memberikan kepadanya bahan-bahan kursusnya yang kini sudah dalam bentuk ketikan (Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan, 1954).
Hatta membedakan kausalitas fenomena alam yang berulang (ilmu alam) dari kausalitas fenomena peristiwa yang hanya sekali terjadi (ilmu sejarah) dan hukum kemajuan masyarakat (sosiologi). Kehadiran bab tentang relasi antara ilmu (jalan kemajuan) dan agama (jalan hidup) tidak biasa dalam diskursus filsafat ilmu di Barat. Hatta menyadari, beragama sudah kodrat orang Indonesia, tetapi berilmu (berpikir ilmiah) belum. Ia ingin bangsanya menyadari, ilmu pengetahuan bukan sekadar bekal hidup, melainkan jalan kemajuan. Beragama tanpa menghambat kemajuan, itulah soal untuk bangsa Indonesia jangka panjang.
Bung Sjahrir memprioritaskan revolusi nasional (kemerdekaan secara politik) daripada revolusi sosial (fisik). Meski termasuk nonkooperatif, ia berjuang dengan cara berbeda dari Bung Karno dengan oposisi massanya. Bersama Bung Hatta, ia merintis pendidikan politik untuk rakyat dan prinsip-prinsip berorganisasi. Pascaproklamasi, ia berjuang agar kemerdekaan Indonesia diakui dunia internasional.
Kumpulan surat dan karangannya semasa ditahan di Batavia, Boven Digul, dan Banda Neira (1934-1938) terbit di Belanda tanpa sepengetahuannya (Indonesische Overpeinzingen, 1945). Dalam tulisan 9 Mei 1936, “Dalam pertarungan untuk merebut kekuasaan, moral belum pernah membimbing pikiran dan perasaan manusia terhadap musuhnya; moral hanya terdapat antara manusia-manusia yang hidup dalam perdamaian.”
Bangsa Indonesia beruntung memiliki para pendiri republik yang tinggi sekali tingkat literasinya. Politik mereka jernih dan mencerdaskan, tidak menghasut. Penjara bak perpustakaan kecil bagi mereka yang merdeka dalam pikiran. Berbeda dari penjara di negeri merdeka yang disulap jadi kamar hotel ketika dihuni koruptor.
Proklamasi Indonesia adalah hasil politik jernih dari orang-orang yang menolak disebut bangsa kuli. Jalan kemajuan untuk Indonesia Raya adalah “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya… sadarlah hatinya, sadarlah budinya” (stanza 1-2 lagu “Indonesia Raya”). Indonesia sebagai rumah bersama wajib dihuni bangsa yang berjiwa merdeka, berhati besar, suka bekerja dan bergotong royong membangun, produktif dan inovatif.
Demokrasi pun sudah disepakati sebagai jalan politik kekuasaan. Kini, kebebasan berekspresi kian terjamin. Bangsa merdeka harus membuktikan demokrasi bukan sekadar jalan berkuasa, melainkan jalan terhormat untuk memanggungkan putra-putri terbaik yang layak memimpin rakyat.
Politik disruptif
Namun, demokrasi di era digital terancam politik disruptif berbasis populisme yang merusak sendi-sendi demokrasi yang rasional dan sehat. Disrupsi adalah keadaan tercabut dari akar dan mengganggu kesinambungan sehingga terjadi perubahan fundamental yang membuka jalan untuk sesuatu yang baru.
Istilah ini sedang populer di dunia bisnis berkat kemajuan teknologi informasi. Bermunculan inovasi bisnis yang menggeser cara bisnis konvensional.
Dalam demokrasi disruptif, kepemimpinan yang potensial paling memajukan rakyat justru tersingkir atau terjungkal oleh politisasi isu populis. Bukan hanya tidak dipilih, tetapi juga dibenci. Tiada ungkapan kebencian dari para pendiri republik terhadap penguasa kolonial, tetapi kini bangsa merdeka gemar memelihara kebencian terhadap pemimpin sendiri. Ironi berdemokrasi. Menurut Niccolo Machiavelli, kualitas terpenting pemimpin adalah jauh dari dibenci dan dipandang rendah rakyat (The Prince). Pemimpin akan dibenci apabila menzalimi dan menyakiti rakyat. Pemimpin akan dipandang rendah apabila dicitrakan lemah atau dikaitkan dengan suatu stigma negatif. Prinsip machiavellian ini, sadar atau tidak, dimainkan sebagian bangsa merdeka, hanya untuk tujuan politik kekuasaan.
Demokrasi memberi ruang warga memilih atas dasar sentimen pribadi. Yang tidak wajar, sentimen negatif dikapitalisasi dengan bantuan teknologi informasi, bukan untuk membongkar dusta atau kejahatan, melainkan untuk membuat lawan politik terstigmatisasi dan menjadi obyek kebencian.
Kita semua bertanggung jawab memerdekakan diri dari politik disruptif yang dalam jangka panjang hanya merugikan diri sendiri. Elite yang berorientasi kekuasaan semata pasti tak peduli apakah rakyat terpenjara dalam pikiran-pikiran sempit dan kerdil. Namun, jiwa merdeka jernih melihat persoalan bangsa dan tak membiarkan diri diadu domba satu sama lain.
Pemimpin wajib menyajikan gagasan-gagasan besar dan konkret untuk menerobos kebuntuan ekonomi pembangunan, memerdekakan bangsa dari kemiskinan dan korupsi.
*Artikel ini pernah dimuat di harian Kompas edisi 15 Agustus 2018.