Dibutuhkan Negarawan
Oleh: Zuly Qodir,
Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jika tidak ada aral melintang, mulai 20 Oktober 2024 Indonesia akan memiliki presiden baru, Prabowo Subianto yang menang dalam pemilu 14 Februari 2024. Sebagai negara dengan penduduk yang multietnis, agama, suku, kelas sosial, dan jender, kita berharap memiliki presiden yang negarawan.
”Negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang luas. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan; yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan. Tuhan-nya sendiri,” kata Bung Karno padsa 1 Juni 1945 saat memberikan pidato di hadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia ketika itu (Yudi Latif, 2011). Dan, tentu saja banyak implikasi dari pidato yang Bung Karno kemukakan tersebut terhadap setiap warga negara Indonesia saat ini.
Tanggal 20 Oktober 2024 merupakan momen penting untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Sebab, kita juga telah menginjak 79 tahun kemerdekaan, suatu momentum yang sangat penting bagi bangsa ini. Kemerdekaan terjadi pada Agustus (17 Agustus 1945) dan pengesahan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia juga pada Agustus (18 Agustus 1945). Kita sekarang tinggal mengusahakan agar bangsa ini yang merdeka hampir 80 tahun lalu lebih baik, sejahtera, merdeka, mandiri, dan adil makmur.
Baca juga Merdeka, Belajar, Merundung
Momentum pelantikan presiden baru pada 20 Oktober 2024 harus kita jadikan sebagai momentum kebangkitan bersama seluruh elemen bangsa ini. Presiden bukanlah sekadar jabatan politik, tetapi amanah kemerdekaan. Jabatan presiden bukan pula sebagai momentum ajang balas dendam politik oleh kaum politikus yang haus kekuasaan dan rakus akan segala sumber-sumber ekonomi.
Presiden baru haruslah menjadi presiden yang mampu mengawal kemerdekaan. Oleh sebab itu, sudah semestinya ini menjadi momentum berbagi kesejahteraan, keadilan, serta kejujuran oleh setiap warga negara Indonesia.
Ketuhanan yang berkebudayaan
Ketuhanan yang berkebudayaan adalah ketuhanan yang dinamis. Oleh sebab manusia bertuhan itu hidup di tengah masyarakat, dia dinamis. Hanya masyarakat yang bahlul saja yang tidak dinamis. Masyarakat yang memiliki kecerdasan jiwa dan nalar sehat akan dinamis karena memperhatikan aspek-aspek manusiawi dalam kehidupannya.
Hal yang tidak dinamis dalam bertuhan adalah jagat para malaikat. Malaikat tidak memiliki syahwat atau nafsu apa pun, berbeda dengan manusia. Oleh sebab itu, manusia dan malaikat dikatakan derajatnya lebih tinggi manusia dengan syarat dapat mengendalikan syahwat dan nafsu serakahnya karena itu manusia bisa menjadi khalifah (pengelola bumi seisinya) sementara malaikat hanya menjaga bumi sebagaimana perintah Tuhan semata.
Baca juga Kemerdekaan dan Pendidikan
Ketuhanan yang berkebudayaan dengan demikian merupakan dogma suci yang harus menjadi pedoman manusia Indonesia, yakni manusia yang hendak mengelola sumber-sumber alam, sumber ekonomi, politik, maupun budaya yang ada di negeri ini. Manusia Indonesia adalah manusia yang saling menghargai, menghormati, mencintai, menolong, serta membantu satu sama lain karena adanya kesadaran bertuhan yang berkebudayaan.
Ketuhanan yang berkebudayaan tidak sama dengan menjadikan Tuhan sebagai makhluk hidup. Ketuhanan yang berkebudayaan adalah menjadikan Tuhan dengan segala sifatnya itu teraktualkan dalam kehidupan umat manusia sehari-hari. Inilah yang kita sebut dengan ketuhanan yang dinamis, ketuhanan yang berkebudayaan, serta agama yang tidak egois.
Egoisme karena itu sebenarnya melawan kodrat Tuhan sendiri. Hal ini disebabkan yang berhak egois itu hanya Tuhan atas segala sesuatu. Karena itu, jika nanti ada makhluk Tuhan yang hendak dimasukkan surganya karena kehendak Tuhan tidak ada yang bisa mencegah sekalipun makhluk di sekelilingnya termasuk malaikat dan manusia tidak setuju. Manusia tidak bisa mencontohnya.
Baca juga Proklamasi Kemerdekaan yang Sarat Makna
Demokrasi Pancasila jika kita sederhanakan sebenarnya sebagai bentuk nyata dari adanya demokrasi religius; yakni demokrasinya orang yang bertuhan. Oleh sebab itu, tidak benar jika dikatakan bahwa demokrasi Pancasila adalah demokrasi kaum sekuler, kaum kapitalis, apalagi kaum ateis sebagaimana belakangan sering dituduhkan pada negara ini.
Demokrasi religius karena itu sebenarnya bisa dikatakan sebagai demokrasi yang merupakan internalisasi serta aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang telah menjadi ijtihad dan ijma ulama Indonesia ketika mendeklarasikan Indonesia merdeka. Demokrasi religius ini berkarakter tidak menindas, tidak memberikan ruang gerak pada kaum kapitalis serta kaum ateis menjadi penguasa di tanah merdeka bernama Indonesia.
Kecerdasan serta kejernihan pikiran, hati, dan pandangan visioner pada pendiri bangsa sangat jelas terlihat di sana bagaimana menjadikan bangsa ini tidak tergelincir dalam gagasan miopik dan absurd tentang masa depan yang tidak berada dalam lindungan dan limpahan karunia sang pencipta. Jika para pendiri bangsa tidak memiliki pikiran jernih, hati yang yang bening, serta tidak menghendaki bangsa ini di dalam karunia Tuhan, maka tidak usahlah repot-repot mencari bagaimana agar terdapat nilai-nilai keagamaan, nilai ketuhanan dalam berbangsa dan bernegara.
Baca juga Jamaah Islamiyah, dari Johor Berakhir di Bogor
Oleh sebab itu, bagi para penentang negara Republik Indonesia, negara yang telah berdasarkan pada Pancasila dengan nilai dasar utama Ketuhanan yang Maha Esa, sebenarnya tidak beralasan jika mengatakan Indonesia adalah negara tidak bertuhan, komunis, sekuler, ataupun ateis. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan visi dan sikap politik para pendiri bangsa yang telah berijtihad dan berijmak (sepakat) Indonesia adalah sebuah negara yang mengakui Tuhan dalam praktik hidupnya.
Dengan demikian, demokrasi Pancasila dalam negara Indonesia adalah wujud paling adil dan nyata tentang pengakuan hadirnya Tuhan dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila memang bukan agama. Pancasila pun tidak dimaksudkan untuk menggantikan agama yang dianut, diyakini, diteladani, serta diamalkan oleh warga negara Indonesia. Pancasila bahkan bertugas mengayomi, menyelamatkan, menyejahterakan, serta melindungi mereka kaum beragama apa pun agamanya.
Inilah sebenarnya demokrasi religius yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila sebagai perekat seluruh sendi-sendiri kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralistik. Pancasila karena itu hendaklah dihadirkan dalam seluruh elemen kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa kecuali oleh manusia Indonesia. Tidak boleh ada lagi manusia Indonesia yang mengaku bangsa dan warga Indonesia menihilkan nilai-nilai Pancasila dan mengatakan bahwa Pancasila adalah buatan manusia yang bisa salah, karena itu perlu diganti.
Baca juga Pesan Damai Grand Sheikh Al-Azhar dan Antikekerasan
Manusia model seperti itu adalah salah bentuk manusia yang tidak memiliki rasa hormat dan terima kasih pada para pendiri bangsa yang berlatar belakang keagamaan (religius) tidak perlu diragukan lagi. Mereka datang dari berbagai kalangan yang telah sama-sama memerdekakan bangsa ini dari kolonial yang mengisap kekayaan kebudayaan bangsa.
Kini kita tinggal menjadi ”saksi-saksi hidup” tentang negara Indonesia dengan membuat berbagai kebajikan yang bisa dinikmati oleh anak turun kita. Ada beberapa hal yang belum sempurna dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian praktik demokrasi religius, tetapi tugas kita adalah menyempurnakannya bukan sekadar membenci, menyalahkan, menghilangkan peran-peran pemerintah dalam membangun bangsa ini.
Kita perlu mengambil teladan para pendiri kemerdekaan dengan terus menggali dan gelorakan bersama antar-anak bangsa. Kita tidak boleh meredupkan semangat memperjuangkan nasib bangsa ini untuk lebih baik.
Baca juga Tentang Pembubaran JI
Saling menyalahkan, membenci, bahkan menafikan peran pemerintah dalam hal kebajikan yang telah diperbuat sebenarnya merupakan wujud nyata dari sifat-sifat orang yang angkuh, sombong, dan tidak bersedia melihat kebajikan yang orang lain perbuat. Hal demikian jelaslah bertentangan dengan ajaran agama yang diyakini oleh setiap warga negara Indonesia.
Negara belum sempurna dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila itu jelas. Namun, jika kita hanya menyalahkan dan membenci karena berbeda aliran keagamaan, berbeda partai politik, atau bahkan berbeda pilihan presidennya adalah bentuk warga negara yang kerdil tetapi merasa besar dan hebat. Tentu kita tidak bersedia jika dikatakan kerdil dan tidak bersedia menghargai orang lain bukan?
Mari kita jaga warisan para pendiri bangsa yang telah meninggalkan kita semua. Mereka telah berjuang mempersiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bertuhan. Jangan kita nodai warisan para pendiri bangsa ini dengan kekerdilan sikap yang antipati pada lawan politik karena kita gagal dalam bertarung. Apalagi, hanya karena kalah dalam memenangkan calon presidennya.
Baca juga Beragama Maslahat untuk Kesejahteraan Masyarakat
Para teladan kemerdekaan, yang telah mempraktikkan demokrasi Pancasila sebagai warisan para bangsa, telah mengajarkan kepada kita semua untuk menjadi manusia religius yang taat pada Tuhan, sekaligus menjadi manusia yang beragama (bertuhan) secara berkebudayaan. Bukan menjadi manusia bertuhan yang egois dan individualistik.
*Artikel ini diambil dari laman kompas.id edisi 14 Oktober 2024
Baca juga Melampaui Program Moderasi Beragama