Visi Penyelesaian Terorisme
Oleh: Hasibullah Satrawi, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Alumnus Al-Azhar Kairo, Mesir
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Terorisme masih menjadi persoalan yang sangat serius karena bisa menjadikan siapa pun sebagai korbannya. Tapi hal yang tak kalah serius justru terletak pada upaya pemberantasan terorisme itu sendiri, karena masih “jauh panggang dari api.” Alih-alih menyelesaikan, serangkaian upaya yang dilakukan oleh pemerintah cenderung melanggengkan bahkan memperbesar persoalan yang ada; mulai dari tuduhan pemerintah bersikap diskriminatif terhadap kelompok tertentu yang justru membesarkan empati terhadap kelompok teror, penindakan yang tak jarang menimbulkan dendam baru (khususnya di kalangan keluarga terduga pelaku), penegakan hukum yang tak memberikan efek jera, hingga perhatian dan pemenuhan hak-hak korban yang masih sangat terbatas.
Adalah ironi, persoalan-persoalan seperti itu tidak terlalu mengemuka dan menjadi perbincangan publik, kecuali pada saat-saat terjadi aksi terorisme ataupun penindakan terhadap para terduga teroris. Walaupun menjadi salah satu tema dalam debat capres-cawapres pertama pada 17 Januari silam, kedua pasangan capres-cawapres tidak menawarkan ide-ide baru yang mendalam dan menyeluruh.
Klaim Keberhasilan
Kurangnya perhatian terhadap persoalan terorisme bisa jadi karena hal ini dianggap tidak terlalu krusial, khususnya dibanding persoalan lain, seperti korupsi, pelanggaran HAM, dan penegakan hukum. Terlebih lagi pemerintah selama ini acap mengklaim sejumlah keberhasilan dalam menangani persoalan terorisme; mulai dari keberhasilan deradikalisasi hingga kontraradikalisasi. Bahkan klaim-klaim keberhasilan sampai dipaparkan di forum internasional seperti dilakukan presiden Jokowi dalam Forum G-20 di Jerman.
Bila indikator yang digunakan dalam bentuk-bentuk angka statistik yang tak bergerak, klaim-klaim keberhasilan yang ada sedikit atau banyak mungkin ada benarnya. Termasuk bila indikator yang digunakan adalah perbandingan dengan pengalaman negara lain dalam menghadapi persoalan terorisme. Faktanya sejumlah napi teroris yang telah keluar dari penjara memang tidak kembali melakukan aksi serupa (kecuali sebagian kecil).
Namun, bila indikator yang digunakan lebih substansial hingga mencakup ranah ideologis (yang menjadi penggerak dan justifikasi dalam melakukan segala aksi terornya), klaim keberhasilan yang ada masih mempunyai banyak catatan kritis. Berdasarkan pengalaman penulis bertemu dengan sebagian mantan pelaku terorisme sejak 2008, perubahan ideologis dari seorang mantan narapidana terorisme termasuk dalam hal yang paling berat. Kalaupun terjadi, perubahan ideologis sulit untuk dianggap sebagai hal yang permanen dan final. Hal itu lantaran faktor-faktor yang membuat seseorang merasa dibenarkan untuk berpikir bahkan melakukan aksi terorisme senantiasa terjadi hingga hari ini, mulai dari faktor dari ranah keluarga (kondisi ekonomi, pendidikan, keluarga yang tidak harmonis), ranah nasional (sosial politik, ekonomi, kebudayaan hingga bentuk negara) hingga di ranah global (konflik atau bahkan serangan terhadap negara-negara berpenduduk mayoritas Islam).
Klaim keberhasilan lain yang kerap dilakukan pemerintah dalam menghadapi persoalan terorisme adalah pendekatan hukum, pembongkaran jaringan hingga menurunnya kualitas serangan aksi terorisme. Sama seperti penjelasan sebelumnya, bila indikator yang digunakan angka-angka statistik, klaim keberhasilan pemerintah sedikit atau banyak mungkin ada benarnya.
Faktanya sudah ratusan para terduga teroris yang keterlibatannya dalam aksi terorisme telah dibuktikan di pengadilan. Sudah tak terhitung jumlah penangkapan demi penangkapan yang dilakukan oleh aparat untuk membongkar jaringan terorisme. Dan tidak terbantahkan juga bahwa aksi-aksi terorisme belakangan ini kualitasnya menurun, khususnya bila dibandingkan dengan aksi-aksi terorisme seperti Bom Bali I yang menggunakan bahan peledak lebih dari satu ton (menurut pengakuan sebagian mantan pelaku), aksi bom terorisme di Kawasan Marriot pada 2003 yang menggunakan bahan peledak hingga ratusan kilogram dan aksi terorisme di depan Kedutaan Australia pada 2004 yang juga menggunakan bahan peledak hingga ratusan kilogram.
Tapi bila indikator yang digunakan bersifat substansial dan menimbulkan efek jera sebagai salah satu tujuan penegakan hukum, masih banyak catatan kritis dalam klaim keberhasilan yang ada.
Alih-alih menimbulkan efek jera, sebagian terpidana terorisme justru mengalami “kenaikan pangkat” setelah dipenjara dan berhasil merekrut narapidana umum yang di kalangan peneliti terorisme dikenal dengan istilah “teroris KW”. Bahkan pembongkaran jaringan yang tak jarang menimbulkan korban jiwa di kalangan terduga terorisme justru menumbuhkan semangat “mati satu tumbuh seribu”.
Kasus terakhir yang bisa dijadikan sebagai fakta paradoks dari klaim-klaim keberhasilan pemerintah adalah serangkaian aksi terorisme di Surabaya tahun lalu. Tidak hanya dilihat dari bahan peledak yang relatif banyak, melainkan terutama dilihat dari pelaku aksi yang melibatkan satu keluarga inti, termasuk perempuan dan anak-anak.
Berdasarkan pengalaman penulis mengamati aksi-aksi terorisme dalam beberapa tahun terakhir, tak pernah ada pelaku serangan yang melibatkan seluruh keluarga inti seperti terjadi di Surabaya, termasuk di wilayah konflik yang sampai pada tahap menahun seperti di Palestina, Irak, Afghanistan, maupun Suriah. Oleh karenanya, dalam hemat penulis, dilihat dari sisi pelakunya, aksi serangan di Surabaya masuk dalam kategori yang terburuk sepanjang sejarah terorisme modern. Bahkan serangan ini lebih buruk dari aksi yang mengguncang Amerika Serikat pada 2001 yang dikenal dengan tragedi 911.
Melampaui Pidana
Salah satu hal yang membuat persoalan terorisme selama ini gagal diselesaikan (walaupun terus diberantas) adalah jebakan nalar pidana dan penindakan yang menuntut adanya penguatan kewenangan bahkan hukuman. Nalar ini hadir dengan asumsi bahwa persoalan terorisme akan bisa diselesaikan dengan memidana atau menembak mati pelakunya. Sedangkan yang acap terjadi justru sebaliknya, sebagaimana telah diungkapkan di atas.
Latar belakang penerbitan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa dijadikan sebagai contoh dari jebakan nalar pidana yang menuntut adanya penguatan regulasi. Perppu ini secara tergesa-gesa diterbitkan untuk menjadi norma dan payung hukum untuk menyelesaikan aksi Bom Bali I pada tahun 2002 secara pidana. Dan Perppu yang akhirnya ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 ini berhasil menyelesaikan aksi Bom Bali I secara pidana, walaupun tidak berhasil menyelesaikan persoalan terorisme.
Latar belakang kurang lebih sama terulang kembali dalam kasus ISIS. Mengingat UU 15/2003 dan regulasi lainnya dianggap tidak bisa menjerat para pendukung ISIS yang wilayah hukumnya berada di luar wilayah Indonesia. Akhirnya UU itu direvisi menjadi UU 5/2018 dengan tambahan pasal-pasal penguatan kewenangan sesuai dengan nalar pidana dan penindakan, seperti pasal 12 A, pasal 13 A, pasal 31 dan yang lainnya.
Di tahap penyidikan, contohnya, penyidik bisa menahan seorang tersangka dalam jangka waktu 120 hari (pasal 25 ayat 2), bisa ditambah 60 hari lagi (ayat 3) dan masih bisa ditambah lagi 20 hari lagi (ayat 4). Bahkan panduan program deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun dijadikan sebagai norma UU terkait dengan deradikalisasi dan kontra-radikalisasi (pasal 43 C dan pasal 43 D).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, sejumlah ketentuan dengan seluruh penguatan yang ada tentu sangat dibutuhkan. Seseorang yang terlibat dengan jaringan terorisme global seperti ISIS pun dipastikan akan bisa dijerat secara hukum dan secara pidana, terlebih lagi yang terlibat dalam jaringan terorisme di dalam negeri.
Namun demikian, penyelesaian terorisme membutuhkan hal-hal lebih besar lagi; melebihi dan melampaui penguatan kewenangan secara hukum maupun pidana. Inilah yang penulis maksud dengan jebakan nalar pidana sebagaimana di atas.
Visi Penyelesaian
Oleh karenanya, upaya pemberantasan terorisme ke depan membutuhkan visi yang berorientasi pada penyelesaian masalah ini. Tak hanya penguatan secara aturan perundangan maupun otoritas, yang lebih penting adalah bagaimana mengimplementasikannya secara kontekstual dengan semangat “satu orang satu solusi”.
Persoalan terorisme di wilayah nonkonflik seperti di Jawa berbeda dengan persoalan wilayah bekas konflik seperti Ambon dan Poso. Seseorang bergabung dan menjadi teroris tidak selalu sama dengan riwayat orang lain menjadi teroris. Maka upaya-upaya penyelesaian terorisme membutuhkan solusi yang bersifat dari akar-akarnya, bukan hingga ke akar-akarnya.
Penyelesaian terorisme ke depan tak cukup hanya dengan menindak tegas bahkan sampai membuat pelakunya meninggal dunia. Melainkan yang lebih penting lagi adalah bagaimana penindakan yang ada tidak justru menimbulkan dendam di kalangan keluarga maupun jaringan pelakunya.
Penyelesaian terorisme ke depan tidak cukup hanya dengan memproses secara hukum dan memidana pelakunya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana menyadarkan pelakunya untuk meninggalkan ideologi yang dianggap membenarkan aksi kekerasan di satu sisi, dan di sisi lain memberikan pendampingan dan perhatian kepada korban agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.
Penyelesaian terorisme ke depan tidak cukup hanya memerhatikan para (mantan) pelaku terorisme, terlebih lagi sampai memanjakan hingga seakan-akan pengalamannya sebagai pelaku terorisme menjadi penyebab bagi seluruh perhatian yang ada. Hal yang tak kalah penting dari perhatian terhadap (mantan) pelaku adalah perhatian terhadap para korban bersama seluruh keluarganya. Hingga kedua kelompok ini bisa secara natural meninggalkan pengalaman traumatis masing-masing, terlebih lagi sampai terjalin rekonsiliasi natural di antara mereka.
Hal yang tak kalah penting adalah pemberantasan terorisme ke depan membutuhkan upaya yang steril dari anasir generalisasi dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Tapi pada waktu yang bersamaan, pemberantasan terorisme ke depan membutuhkan kejujuran dan pengakuan dari semua pihak bahwa persoalan ini bukanlah rekayasa ataupun konspirasi dari pihak mana pun.
Artikel ini telah diterbitkan Suara Pembaruan Edisi 29 Januari 2019.