Memaafkan untuk Ketenangan Hati
Suatu sore di hari pertama bulan Oktober 14 tahun silam, seperti biasa Ni Wayan Ani berangkat bersama suaminya untuk bekerja di Kafe Kalanganyar, restoran makanan laut di tepi Pantai Jimbaran, Bali. Ya, Ani dan suami memang bekerja di tempat yang sama untuk mencari nafkah.
Sebenarnya sore itu ia sempat terpikir untuk bertukar shift dengan rekan kerjanya, namun ia urungkan niat dan tetap berangkat sebagaimana mestinya. Saat beranjak keluar rumah, entah mengapa ada saja barang yang tertinggal hingga membuatnya harus balik lagi ke rumah beberapa kali. Belakangan ia menyadari bahwa itu merupakan firasat suatu hal buruk akan terjadi.
Sesampainya di tempat kerja, Ani pun bergegas melakukan pekerjaannya, melayani tamu-tamu yang datang. Sementara itu, suaminya melakukan pekerjaan di bagian dapur. Di tengah kesibukan Ani melayani tamu, ada seorang laki-laki tak dikenal datang menghampirinya dan bertanya tentang restoran yang paling banyak didatangi wisatawan mancanegara. Tak menaruh curiga, Ani pun menjawab bahwa kafe yang dimaksud berada tepat di sebelah tempatnya bekerja, yaitu Menega Cafe.
Tak berapa lama kemudian, laki-laki itu kembali bertanya kepada Ani. Ia menanyakan pada jam berapa biasanya Menega ramai dikunjungi. Ani pun menjawab, kafe tersebut biasanya ramai jam 7 malam ke atas. Namun, ia mulai merasa curiga terhadap laki-laki tak dikenal itu. Ia sempat membicarakan hal ini dengan salah satu rekan kerjanya. Koleganya itu sempat berpikir positif, mengatakan bahwa mungkin dia adalah pemandu wisata yang tengah menunggu tamunya. Ani pun membuang rasa penasaran itu sembari membereskan meja resto.
Baca juga Mewujudkan Harapan Mendiang Suami
Malam pun menjelang. Langit sudah gelap. Lampu-lampu dari berbagai retoran yang berderet di Pantai Jimbaran mulai berkerlipan. Di tengah keramaian para wisatawan yang menikmati makan malam, terjadilah peristiwa itu.
“Duarr!!!” Ledakan sangat keras mengguncang tempat kerja Ani. Semula ia pikir itu hanyalah ledakan kompor. Namun, hanya sekian detik berikutnya ledakan lebih besar kembali terjadi, dan ledakan itu berasal dari arah pria yang menanyainya.
Kuatnya ledakan membuat dirinya yang tengah membawa nampan penuh dengan minuman terpental jatuh. Kursi dan meja di kafenya beterbangan. Kepala bagian belakangnya terasa sakit luar biasa dan deras mengucurkan darah. Ia mengaku masih sadar saat itu namun badannya terasa kaku, dan mulutnya tak bisa bicara. Tak lama kemudian, ia ditolong oleh beberapa orang dan kemudian dilarikan ke rumah sakit. Saat itulah ia melihat suaminya tengah menolong korban lainnya, meskipun ia sendiri juga mengalami luka.
Ani dilarikan ke sebuah klinik kesehatan di Jimbaran. Namun, tak ada tindakan medis yang bisa dilakukan petugas di klinik tersebut karena luka yang diderita Ani cukup parah. Ia dirujuk ke RS Sanglah, Denpasar. “Tolong bawa istri saya ke Sanglah. Istri saya sudah sekarat sekali ini,” kata Ani menirukan suaminya yang hampir putus asa meminta pertolongan.
Karena darah yang keluar cukup banyak, Ani tidak sadarkan diri. Baru setelah mendapatkan transfusi darah, kesadarannya pulih. Dokter yang memeriksanya mengatakan, cedera di kepalanya sangat serius. Ada banyak luka memar di tubuhnya lantaran terpental dan menghantam benda-benda keras di sekitarnya.
Baca juga Nyoman Rencini, Menjadi Ibu Sekaligus Bapak
Cedera serius di kepalanya disebabkan oleh dua gotri menembus ke kepala bagian belakangnya. Gotri tersebut bersarang di antara saraf dan otak kecilnya. Tiga hari setelah kejadian, dua logam tersebut baru bisa diambil dari kepala Ani melalui operasi.
Selain fisik, Ani juga mengalami trauma. Saat masih di ruang perawatan, ada beberapa polisi yang berkunjung menanyakan tentang sosok pria dalam sebuah foto. Ani tahu, pria itu adalah orang yang meledakkan diri dan membuatnya terluka parah. Ia pun histeris dan mengusir polisi tersebut. Ketakutannya itu membuat tubuhnya yang belum pulih benar kembali tak sadarkan diri.
Hingga tiga bulan lamanya karena cedera itu Ani tidak bisa bergerak secara normal, sebagian anggota tubuhnya terasa kaku. Ia pun mengalami trauma hingga tidak ingin melintasi tempat kerjanya. Sekali pun harus melalui jalan lain lebih jauh, ia mau menempuhnya sebab ia benar-benar tidak ingin mendekati area tragedi teror bom itu terjadi.
Empat bulan setelah kejadian, Ani memutuskan untuk kembali bekerja meski ia masih trauma. Hal itu tak lain ia lakukan demi membantu suaminya dalam mencari nafkah untuk keluarga. Ia meminta kepada tempat kerjanya untuk ditugaskan pada shift pagi. Ia memaksakan diri untuk tetap bekerja meskipun masih sangat takut apabila mendengar petasan atau kembang api. Ia juga mengaku trauma dengan isu-isu terorisme, seperti yang sering muncul di televisi. Jika ada pemberitaan mengenai aksi-aksi terorisme, acap kali ia merasa takut untuk berangkat bekerja.
Peristiwa aksi bom bunuh diri tersebut sudah berlalu 14 tahun lamanya, namun memori kejadian tragis itu tidak akan pernah sirna dari ingatannya. Meski demikian, saat Ani dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme oleh AIDA beberapa bulan yang lalu, ia mengaku tidak ada dendam dan memilih untuk memaafkan. Baginya, semua yang menimpanya sudah takdir, ia ikhlas dengan apa yang telah menimpanya.
”Saya memaafkan pelaku, karena dengan memaafkan saya bisa tenang, tentram dan bahagia. Bermusuhan tidak akan ada pangkal ujungnya,” ungkap Ani dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMAN 7 Serang awal tahun 2019. [SWD]