18/08/2022

Perjumpaan Perdana Menguraikan Makna

Pengantar

Kesan pertama begitu bermakna selanjutnya terserah Anda. Demikian sementara orang menata kata. Ya, banyak orang menganggap pertemuan awal sebagai momentum penting yang menentukan kesan, citra, serta keberlanjutan hubungan. Perjumpaan perdana adalah waktu di mana dua anak Adam saling mengenal dan berikhtiar menggali makna.

Biasanya orang akan menerka-nerka bagaimana karakter sosok yang akan dijumpainya. Terlebih jika sosok tersebut menyandang predikat tertentu yang padanya melekat citra dan kesan-kesan yang terkadang imajiner belaka atau sebaliknya memang kenyataan.

Baca juga Mahasiswa: Entitas Moral Gerakan Perdamaian

Salah satu misi AIDA adalah memberdayakan penyintas terorisme; orang-orang yang paling terdampak dari setiap aksi serangan teror yang mengerikan. Dalam pikiran khalayak luas, korban terorisme dicitrakan dengan cedera parah bahkan disabilitas atau gangguan psikis akibat trauma.

Pertemuan awal dengan penyintas terorisme kerapkali mementahkan citra-citra itu. Karena secara lahir, sebagian mereka telah tampak baik-baik saja. Butuh waktu untuk mengerti betul kondisi mereka. Empati dan simpati pun muncul perlahan.

Baca juga Psikologi Memaafkan (bag. 1)

Berikut ini adalah penuturan Rivaldi dan Rahman, dua personil yang belum lama bergabung dengan AIDA. Latar belakang keduanya bukanlah aktivis sosial, melainkan anak perkotaan yang hidup dan besar selayaknya pemuda usia 20-an tahun di ibu kota. Rutinitasnya tak jauh dari bangku pendidikan, pekerjaan, dan nongkrong.

Kisahnya Membuatku Bersyukur
Oleh: M. Rivaldi

Tidak ada antusiasme dengan korban bom. Karena menurutku, mereka seperti korban tindak kejahatan lainnya. Memang sudah menjadi takdir mereka. Kejadiannya pun sudah lama berlalu. Maka tatkala Sudirman Thalib, penyintas Bom Kuningan 2004, datang ke kantor, aku bersikap sewajarnya.

Setelah bersalaman dan menyebutkan nama, aku hanya membatin, “oh, ini korban bom.” Sudirman terlihat baik-baik saja, sehat, tidak seperti yang saya bayangkan. Tidak ada dampak fisik yang terlihat jelas karena memang kejadiannya sudah lama.

Baca juga Psikologi Memaafkan (bag. 2)

Namun ternyata dugaanku salah besar. Aku hanya melihat sosoknya yang sekarang, tidak sebelumnya. Aku tidak tahu secuil pun fase-fase hidup yang telah dilewatinya hingga sampai di titiknya sekarang.

Ketika berbicara, mengobrol sembari menunggu waktu shalat ashar, Sudirman menceritakan kisahnya dengan ringan. Nadanya datar, tutur katanya lembut, sesekali sembari tersenyum kecil, dan diselingi candaan. Obrolan berjalan jauh dari serius. Aku mendengarnya seksama. Muncul keingintahuan atas apa yang telah dialaminya.

Baca juga Psikologi Memaafkan (Bag. 3)

Ternyata Bom Kuningan nyaris saja merenggut nyawa Sudirman. Sekujur tubuhnya cedera parah kala itu. Ia pernah berada di puncak kepasrahan karena merasa maut segera menjemputnya. Namun Allah masih memberinya kehidupan, meski harus kehilangan salah satu matanya.

Hal yang membuatku sangat terpukau, Sudirman tidak menyimpan dendam kepada para pelaku yang membuatnya menderita, sebaliknya malah memaafkan mereka. Ia telah mengikhlaskan musibah yang menimpanya. Baginya apa yang telah terjadi merupakan ketentuan Allah SWT.

Baca juga Psikologi Memaafkan (Bag. 4-Terakhir)

Setelah mendengar kisahnya, aku menyadari tidak ada korban terorisme lama atau baru. Mereka semua tetap korban, karena apa yang dialaminya membawa dampak berkepanjangan. Sudirman masih sering merasakan sakit dan mesti rutin mengonsumsi obat-obatan lantaran ada jaringan saraf tubuhnya yang rusak.

Seketika itu pula aku memanjatkan syukur atas apa yang telah Allah angerahkan kepadaku sejauh ini. Aku berdoa agar Sudirman terus diberikan kesehatan dan tak lelah untuk menyuarakan perdamaian.

Teringat Sosok Mama
Oleh: Yanuwar Rahaman

Februari 2022, saya mendapatkan kesempatan mengikuti kegiatan AIDA. Saat itulah saya bisa bertemu langsung dengan penyintas terorisme. Namanya Hayati Eka Laksmi, korban Bom Bali. Bu Eka, sapaan akrab Hayati Eka Laksmi, kehilangan suaminya yang meninggal dalam peristiwa serangan bom di Pulau Dewata pada 12 Oktober 2002.

Bu Eka bercerita tentang perjuangannya membesarkan kedua anaknya seorang diri. Ia harus bisa menjelaskan kepada buah hatinya yang masih sangat belia bahwa papanya tak lagi di sisi mereka. Selain harus menjadi Ibu yang penuh kasih, Bu Eka juga harus mencari pekerjaan karena bagaimana pun kehidupan harus berlanjut.

Baca juga Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim (Bag. 1)

Aku sangan terkesan dengan ketangguhan Bu Eka. Atas segala beban yang ditanggungnya, ia bisa memaafkan mantan pelaku terorisme yang terlibat dalam serangan Bom Bali. Ia juga berhasil membuat anak-anaknya, yang tadinya sangat mendendam –sampai bercita-cita ingin menjadi polisi agar bisa menembak para pelaku terorisme yang telah membuatnya berpisah dengan ayahnya— berubah memaafkan dan mengikhlaskan musibah yang menimpa mereka.

Sosok Bu Eka yang hebat mengingatkanku dengan seseorang dalam hidupku yang tanpa menyerah dan mengeluh memberikan semua kehidupannya untuk masa depanku dan saudara-saudaraku. Dia adalah Mamaku.

Baca juga Meneladani Kesabaran Nabi Ibrahim (Bag. 2-terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *