Komitmen Pelajar Surakarta Menjadi Duta Damai
“Saya ingin membawa perdamaian untuk Indonesia, dimulai dari lingkungan terdekat. Saya ingin merangkul teman-teman dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjaga perdamaian agar tercipta keharmonisan bagi bangsa Indonesia.”
Aliansi Indonesia Damai- Begitulah ungkapan seorang siswi SMAN 5 Surakarta setelah mengikuti kegiatan “Dialog Interaktif Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang digelar Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Surakarta, Rabu (9/10) lalu. Acara tersebut bertujuan untuk memupuk jiwa tangguh generasi muda bangsa agar bijak dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Tantangan yang mesti dihadapi generasi muda di era kekinian sangat beragam, tak terkecuali ajakan pada paham kekerasan, seperti terorisme.
Baca juga Optimalkan Potensi Diri, Tumbuhkan Ketangguhan
Dalam kegiatan dihadirkan Tim Perdamaian AIDA sebagai narasumber. Tim Perdamaian beranggotakan korban aksi teror serta pelaku terorisme yang telah bertobat, yaitu Nanda Olivia Daniel (penyintas Bom Kuningan 2004) dan Kurnia Widodo (mantan anggota kelompok teroris).
Kurnia membeberkan kisah kelamnya pernah terlibat dalam paham kekerasan hingga kemudian mencapai titik kesadaran untuk menempuh jalan perdamaian. “Saya berharap adik-adik tidak terjerumus ke lubang yang sama seperti saya. Kita tidak mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa orang lain. Apa pun agamanya, kita tidak punya hak untuk membunuh saudara,” ungkapnya di hadapan para siswa SMAN 5 Surakarta yang hadir dalam Dialog Interaktif pagi itu.
Kurnia juga menyampaikan permohonan maaf terhadap seluruh korban terorisme. Ia mengaku menyesal pernah bergabung dengan kelompok yang melakukan dan merencanakan teror. Baginya, salah satu faktor yang membuatnya sadar untuk meninggalkan dunia kekerasan dan memilih jalan perdamaian adalah pertemuannya dengan korban. “Jihad melawan nafsu dan amarah itu jauh lebih tinggi daripada jihad-jihad yang lain. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah,” tuturnya.
Baca juga Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu
Dalam kesempatan yang sama, Nanda berbagi pengalaman saat terdampak ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, Jakarta pada 9 September 2004. Saat itu dia tengah berada di dalam bus kota. Akibat ledakan bom, ia mengalami kerusakan di gendang telinga dan jari tangannya. Bahkan sampai saat ini, tangannya tidak bisa kembali berfungsi secara normal. Di hadapan para siswa, ia menunjukkan bahwa dampak dari paham kekerasan sangat menghancurkan kehidupan orang-orang yang menjadi korban. Berbagai penderitaan datang mendera hingga menyebabkan kehidupan para korban terpuruk. Nanda mengaku sangat bersyukur masih diberi kekuatan untuk melalui cobaan berat sebagai korban aksi teror bom.
Seiring waktu, Nanda pun belajar untuk mengalahkan trauma dalam diri. Meskipun tidak mudah, ia memaafkan mantan pelaku. “Semarah apa pun saya, sekasar apa pun kata-kata saya, saya pukuli sekali pun itu tidak akan pernah mengembalikan apa yang sudah hilang. Saya belajar memaafkan beliau, untuk kebaikan diri saya sendiri,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sepanjang kegiatan, para peserta tampak antusias menyimak kisah yang disampaikan oleh narasumber. Seusai kegiatan, salah seorang siswa mengaku mendapat pelajaran berharga dari kisah Kurnia dan Nanda.
Baca juga Kisah Tim Perdamaian Menginspirasi Pelajar di Haurgeulis
“Dari Pak Kurnia saya belajar bahwa sebuah kekerasan bukan sesuatu hal yang baik untuk dilakukan. Jadi, sebuah kekerasan bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah. Sementara dari Ibu Nanda saya belajar bahwa memaafkan adalah hal yang paling mulia. Sebesar apa pun dendam terhadap seseorang kita harus memaafkan orang tersebut agar terjadi perdamaian di antara kita,” ungkap siswa tersebut.
Seorang peserta lainnya menyatakan berkomitmen untuk menjaga dan menebar perdamaian, khususnya di kalangan teman-temannya sesama pelajar. “Bisa memaafkan diri sendiri dan orang lain itu penting. Setelah ini, saya akan mengajak teman-teman saya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan kekerasan,” katanya. [LADW]
Baca juga Belajar Memaafkan dan Mengakui Kesalahan dari Korban dan Mantan Teroris