Home Berita Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu
Berita - Pilihan Redaksi - 08/10/2019

Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu

Aliansi Indonesia Damai- “Sesuatu yang berharga itu akan terasa ketika ia hilang. Lalu bagaimana kalau yang hilang itu keluarga? Bagaimana kalau yang hilang adalah negara?” Demikian Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, mengatakan saat memberikan sambutan dalam Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Indramayu, 26 Agustus 2019 lalu.

Ia menekankan kepada 50 siswa peserta Dialog Interaktif betapa pentingnya menjaga perdamaian. Menurutnya, perbedaan yang dapat menimbulkan gesekan dalam kehidupan bermasyarakat pasti selalu ada. Namun demikian, kebijakan dalam merespons perbedaan harus mengedepankan prinsip perdamaian, bukan justru melalui cara-cara kekerasan yang dapat merusak kedamaian, seperti konflik yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah.

Sesuai tema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”, kegiatan hasil kerja sama AIDA dan Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan & Kebudayaan itu mengajak para peserta untuk meningkatkan ketangguhan diri. Generasi muda bangsa harus memupuk ketangguhan agar tidak mudah goyah bila dihadapkan pada berbagai tantangan.

Secara khusus, pengalaman hidup dari korban dan mantan pelaku terorisme bisa dijadikan inspirasi para pelajar dalam meningkatkan ketangguhan.

Baca juga Optimalkan Potensi Diri, Tumbuhkan Ketangguhan

Dalam Dialog Interaktif di SMAN 1 Indramayu, dihadirkan korban dan mantan pelaku untuk berbagi semangat ketangguhan kepada para peserta. Mereka adalah Hayati Eka Laksmi, korban tidak langsung dari aksi teror Bom Bali 2002, dan Iswanto, seorang mantan anggota kelompok teroris.

Iswanto yang pernah menerima doktrin kekerasan, menekankan kepada para siswa bahwa ajaran jihad dalam agama bukanlah semata-mata tentang perang mengangkat senjata. Makna jihad jauh lebih luas dari itu. Menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, kata dia, juga merupakan jihad.

Ia juga berpesan bahwa paham kekerasan seperti terorisme tidak menghasilkan perbaikan di masyarakat, justru sebaliknya, hanya akan menimbulkan korban-korban yang tak beralah. Sebagai orang yang pernah hidup di jalan kekerasan, ia meminta maaf kepada para korban teror di Indonesia. Ia telah bertobat dan kini berkomitmen untuk mengampanyekan perdamaian bersama dengan AIDA dan para penyintas terorisme.

Baca juga Kisah Tim Perdamaian Menginspirasi Pelajar di Haurgeulis

Sementara itu, Eka Laksmi berbagi kisah kepada para siswa peserta Dialog Interaktif tentang perjuangannya bangkit dari keterpurukan setelah suaminya meninggal dunia menjadi korban Bom Bali pada 12 Oktober 2002. Ledakan besar dari bom menimbulkan kerusakan parah di kawasan Legian, Bali. Lebih dari 200 orang tewas akibat serangan teror tersebut. Suami Eka saat itu hanya sekadar melintas di dekat lokasi kejadian. Kepergian suami terjadi saat Eka sedang mengasuh dua anak yang masih kecil-kecil.

Eka memotivasi para siswa agar selalu kuat, tidak menyerah meskipun dihadapkan pada masalah yang tak mudah. Ia juga berpesan agar selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, serta menjauhi ajakan kekerasan.

Sejumlah siswa menyampaikan pembelajaran yang didapatkan setelah mengikuti Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”. Seorang siswa mengungkapkan pembelajaran dari penuturan kisah Eka. “Jangan jadikan sebuah masalah atau sakit hati menjadi sebuah alasan untuk tidak bangkit di masa depan, karena di balik kegelapan pasti ada keindahan jika dilalui dengan kesabaran. Jadilah pemaaf dan bangkit demi masa depan,” ungkapnya.

Siswa bertanya kepada narasumber dalam kegiatan Dialog Interaktif “Menjadi Generasi Tangguh”.

Seorang siswa lainnya mengutarakan pembelajaran yang ia dapat dari pengalaman hidup Iswanto. “Tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf, dan tidak ada kata telat dalam belajar. Tidak boleh malu dalam meminta maaf, dan harus punya tekad untuk berubah menjadi lebih baik,” katanya.

Di akhir kegiatan, Hasibullah menekankan tentang makna ketangguhan dari kisah korban dan mantan pelaku. Orang yang tangguh menurutnya bukanlah yang tidak pernah salah, melainkan yang berani mengakui kesalahan dan bertekad untuk memperbaikinya. Orang yang tangguh juga bukanlah mereka yang tidak pernah menangis dalam keterpurukan, melainkan yang mampu bangkit dari keterpurukan kemudian mengubah tangisan menjadi senyuman serta harapan perdamaian bagi sebanyak-banyaknya manusia.

“Dari kisah Pak Iswanto, kita belajar untuk tidak membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan, dan dari kisah Bu Eka, kita belajar untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan,” pungkasnya. [SWD]

Baca juga Belajar Memaafkan dan Mengakui Kesalahan dari Korban dan Mantan Teroris

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *