Home Berita Berbagi Ketangguhan di SMAN 1 Haurgeulis
Berita - Pilihan Redaksi - 05/11/2019

Berbagi Ketangguhan di SMAN 1 Haurgeulis

Dulu ketika saya sekolah, ada materi PMP (Pendidikan Moral Pancasila), kalau sekarang PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), dan saya tidak pernah masuk. Tapi perlu adik-adik ketahui, empat tahun terakhir ini saya mengajar PKN

Aliansi Indonesia Damai- Pernyataan itu disampaikan Iswanto, salah seorang yang pernah terlibat dalam kelompok ekstremisme, di hadapan siswa-siswi Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Haurgeulis, Indramayu, Rabu (28/9). Kegiatan dialog interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” itu digelar oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan didukung oleh Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Iswanto berbagi pengalamannya saat masih bergabung dalam jaringan terorisme. Ia mengaku mendapatkan ilmu militer dari kelompok tersebut, seperti tata cara menggunakan senjata api, merakit bom serta strategi dan taktik perang. Ilmu yang ia dapatkan, ia praktikan dengan melibatkan diri pada sejumlah konflik komunal. Ia pun berpandangan bahwa pemerintah Indonesia harus diperangi, karena tidak sesuai dengan ajaran agama.

Baca juga Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu

Namun demikian, pasca penangkapan pelaku Bom Bali I pada tahun 2002 yang di antara pelakunya adalah guru-gurunya, maka perlahan terjadi kegamangan dalam diri Iswanto. Salah satu gurunya, Ali Imron, yang divonis penjara seumur hidup memintanya untuk tidak melanjutkan aksi-aksi kekerasan. Sementara sebagian guru yang lain justru memintanya untuk melanjutkan tindakan kekerasan. 

Di tengah-tengah kegalauan itu, Iswanto memilih melanjutkan sekolah dan tidak melanjutkan aksi-aksi kekerasan. “Inspirasi saya keluar dari jaringan ini, saya sekolah lagi. Saya ikuti ujian persamaan untuk mendapat ijazah SMA, kemudian saya lanjut ambil S1 dan S2,” kenangnya.

Kini Iswanto memilih keluar dari kelompok ekstrem. Meskipun tidak terlibat dalam aksi pengeboman, ia meminta maaf kepada para korban ledakan, termasuk kepada Hayati Eka Laksmi yang turut menjadi narasumber dalam dialog itu. Eka sendiri merupakan korban Bom Bali tahun 2002. Ia kehilangan seorang suami, Imawan Sardjono, karena menjadi korban meninggal dari peristiwa ledakan dahsyat tujuh belas tahun lalu itu.

Iswanto, membagi kisah hidupnya dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”.

Saat menceritakan kisahnya, Eka mengatakan, bahwa kehilangan suami menjadi pukulan batin bagi dirinya. Apalagi saat itu, ia tidak bekerja karena fokus membesarkan dua orang anak yang masih kecil. Namun, keadaan tak bisa ia tolak. Tulang punggung keluarga secara otomatis berpindah kepadanya. Di balik segala kepedihan itu Eka mencoba menguatkan dari dan jiwanya. 

Ia sadar bahwa kehidupan dua buah hatinya harus terus berlanjut. Karena itu, ia berusaha semaksimal mungkin untuk mencari nafkah bagi keluarganya. “Saat mengantarkan lamaran kerja. Saya menangis di atas motor. Teriak-teriak. Itu karena saya harus kuat di depan anak-anak,” ungkap Guru di salah satu sekolah swasta di Bali tersebut.

Saat ini, Eka telah bangkit dari berbagai keterpurukan masa lalunya. Selain menjadi guru konseling di sekolah swasta, Eka pun ikut mendirikanYayasan Isana Dewata, perkumpulan istri, suami dan anak korban Bom Bali. Bagi Eka dan sejumlah rekan-rekannya sesama korban, organisasi tersebut adalah wadah untuk saling menguatkan untuk menjalani hidup di masa depan. Eka juga bergabung dalam tim perdamaian AIDA untuk mengampanyekan perdamaian di kalangan generasi muda Indonesia.

Baca juga Berhijrah ke Jalan Damai

Ia pun berharap tidak ada lagi korban bom di masa depan, karena menjadi korban sungguh penderitaan luar biasa. Kehidupan dengan perdamaian menurutnya adalah anugerah yang harus terus menerus diperjuangkan. “Cukuplah kami yang menjadi korban. Cukuplah anak-anak saya yang kehilangan bapaknya. Hidup akan lebih nikmat dan berarti bila kita damai,” pesan Eka sebelum mengakhiri kisahnya.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi mengatakan, makna generasi tangguh yang bisa dipetik dari kisah Iswanto dan Eka adalah orang-orang yang mau mengakui kesalahan dan mau memperbaiki diri, dan mereka yang mampu bangkit dari keterpurukan dan mengubahnya menjadi inspirasi bagi orang lain. “Semua orang pernah menangis, namun kita belajar dari Ibu Eka bahwa kesedihan tidak harus membuat kita hancur. Namun kesedihan justru membuat kita tangguh dengan bangkit dan memperbaiki keadaan,” pungkas Hasibullah. [MSH]

Baca juga Eka Laksmi, Ketangguhan Istri Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *