Home Pilihan Redaksi Eka Laksmi, Ketangguhan Istri Korban Terorisme
Pilihan Redaksi - Suara Korban - 29/10/2019

Eka Laksmi, Ketangguhan Istri Korban Terorisme

Aliansi Indonesia Damai – Meskipun sudah 17 tahun berlalu, kenangan pahit tragedi Bom Bali 1 masih terus melekat di benak korbannya. Selalu saja ada yang menyesak tatkala mengingatnya, meski jiwa telah tangguh melewati itu semua. Setidaknya itulah yang dialami Hayati Eka Laksmi, ibu dua putra yang tidak akan pernah bisa melupakan tragedi tersebut. Ledakan yang terjadi pada 12 Oktober 2002, menewaskan lebih dari 200 orang, termasuk mendiang suaminya, Imawan Sarjono. 

Imawan, atau yang akrab dipanggil Iwan, turut menjadi korban terorisme di usia 33 tahun. Takdir membuatnya harus meninggalkan Eka sendiri dengan kedua anaknya yang masih balita. Pada saat kejadian, anak pertama mereka masih berusia 3,5 tahun dan anak kedua baru menginjak usia 2,5 tahun. Eka mengingat betapa sedihnya ditinggal sang suami saat anak-anak mereka masih kecil dan lucu. Terlebih, anak pertama mereka, Alif, selalu diasuh oleh sang suami. 

Eka semakin sedih saat mengenang kalimat terakhir Iwan sebelum berangkat kerja. Ia tidak menyangka bahwa kalimat tersebut akan menjadi kata-kata terakhir suaminya. Saat itu mereka baru sebulan menempati rumah barunya. Sambil duduk di jendela, Iwan mengucap, “Alhamdulillah, Mah, sudah nyaman buat anak-anak, karena biasanya kontrak,” kenang Eka di hadapan siswa-siswi SMA Muhammadiyah Haurgeulis, Indramayu pada kegiatan Dialog Interaktif yang diadakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) pada akhir Agustus 2019 lalu.

Eka menceritakan, pada malam itu Iwan sempat menelepon sang ibu dan menitipkan anak-anaknya. Padahal sang ibu selalu menemani Eka menjaga anak-anaknya ketika Iwan bekerja. “Kan biasanya kalau Nak Iwan masuk malam nenek selalu nginep di sini,” ujar Eka menirukan jawaban sang ibu. 

Baca juga Memompa Ketangguhan Generasi Muda Indramayu

Menurut Eka, sang bunda tidak merasakan adanya firasat apapun. Perasaan tidak enak baru dirasakan oleh ibunya pada tengah malam ketika terdengar jeritan kencang yang memanggil namanya hingga membuat ia terbangun. Pada saat itulah bom meledak. Namun, mereka masih belum mengetahui apapun terkait kejadian tersebut.

Hanya Mampu Menangis

Pagi di keesokan harinya, Eka menanti kedatangan Iwan yang sebelumnya berpamit untuk tugas malam. Biasanya, sang suami pulang pada pukul 7 pagi. Namun, di hari itu bukan Iwan yang menemui melainkan petugas dari penyewaan mobil langganan suaminya. Eka baru menyadari bahwa hal buruk sedang terjadi ketika petugas mengatakan bahwa mobil yang sedang dipinjam Iwan ditemukan di lokasi kejadian bom. 

Tidak percaya, Eka langsung mengambil motornya untuk pergi ke tempat suami bekerja. Meski jaraknya cukup jauh, dia nekat menemui atasan sang suami dan menanyakan keberadaannya. 

Perasaan Eka semakin kacau ketika atasan mengatakan bahwa sejak semalam Iwan belum kembali setelah mengantarkan tamu makan malam. Dengan terburu-buru, dia kembali mengendarai motor menuju hotel tempat tamu tersebut menginap dan memastikan apakah suaminya sedang di sana. Sayangnya, Eka mendapatkan jawaban yang sama dari pihak hotel bahwa tamu yang dimaksud juga belum kembali sejak semalam. 

Baca juga Kisah Tim Perdamaian Menginspirasi Pelajar di Haurgeulis

Mendengar jawaban yang sama, Eka mulai lemas dan tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi. Di saat itu pula dia bertemu polisi yang memberikan secercah harapan untuk menemukan suaminya. Eka menceritakan bagaimana polisi tersebut membuatnya bersemangat untuk mencari Iwan, “Ibu jangan panik dulu, jangan resah dulu. Silakan cari di 13 rumah sakit di Denpasar karena memang korban disebar di sana. Siapa tahu, suami ibu sedang membutuhkan ibu saat ini, jangan dulu berpikir yang aneh-aneh.” 

Eka kemudian bergegas menuju semua rumah sakit yang ada di Denpasar. Namun, sang suami tak juga berhasil ditemukan. Sambil terus berharap, dia bergegas ke Rumah Sakit Sanglah yang merupakan rumah sakit terbesar di Denpasar. 

Tiba di rumah sakit Eka menyaksikan kesibukan yang luar biasa. Ambulans datang dan pergi. Petugas medis bergantian mendorong brankar pasien yang baru diturunkan. 

Eka memaksa pihak rumah sakit untuk mengizinkannya masuk ke ruang Intensive Care Unit (ICU). Namun Iwan tidak juga ditemukan. “Lari lagi masuk ke UGD, liat orang yang kesakitan. Ke ruang jenazah, (lihat) diturunkan jenazah banyak dari truk sudah kaya buang sampah saking banyaknya. Itu adalah mayat manusia yang sudah tidak bisa dikenali,” kenangnya.

Baca juga Berhijrah ke Jalan Damai

Tak juga menemukan sang suami, akhirnya Eka memutuskan pulang. Sesampai di rumah  dia hanya mampu menangis. Beban dan kesedihannya makin berat saat anak-anak menanyakan apa penyebabnya dia menangis. 

Titik Terang

Tak tenang, Eka lantas pergi ke lokasi kejadian. Satu kilometer menjelang lokasi ledakan bom, jalan ditutup petugas berwajib. Dari jarak tersebut dia bisa melihat mobil-mobil yang hancur dan hangus habis terbakar. Mengikuti beberapa wartawan, dia lantas naik ke rumah penduduk untuk melihat lokasi kejadian. Dari situlah Eka menyaksikan secara langsung mobil yang digunakan oleh suaminya ikut terbakar. 

Meskipun telah menemukan mobil yang dikemudian suaminya hancur, Eka tetap berusaha menemukan jenazah Iwan. Dia merasa memiliki tanggung jawab untuk mencari bukti tentang suaminya agar bisa ditunjukkan kepada anak-anaknya yang masih kecil. 

Beruntung, Eka akhirnya menemukan sepatu sang suami setelah enam hari melakukan pencarian yang tiada henti. Namun, sepatu tentu masih belum cukup untuk membuat anak-anaknya mengerti.

Di saat yang bersamaan, ibunda Eka pergi ke rumah sakit dengan harapan mendapatkan petunjuk tentang Iwan. Didampingi petugas rumah sakit, sang ibu diperlihatkan jenazah satu per satu hingga membuatnya tidak sanggup dan memutuskan untuk berpasrah seraya membaca Al Fatihah agar diberikan petunjuk.

Baca juga Tiga Kisah Kebangkitan Penyintas

Benar saja, tidak lama setelahnya ibunda Eka memiliki firasat tentang telapak kaki jenazah yang ada di dekatnya. “Dibuka ciri-cirinya, disebut seperti orang Asia, gigi dalam keadaan rapi dan ada yang tersisa pakaian rusak. Nenek (sebutan Eka kepada sang ibu) menjawab, maaf saya tidak mengenali, mungkin istrinya mengenali,” cerita Eka.

Mendengar cerita dari sang ibu, Eka memutuskan untuk pergi ke rumah sakit dengan membawa kain kafan untuk suaminya. Sesampainya di rumah sakit, dia berharap ada potongan pakaian yang dapat dikenalinya karena selalu menyiapkan pakaian untuk Iwan. Ternyata yang ditemukan justru lebih dari itu, Eka mendapati nametag yang membuatnya yakin bahwa jenazah tersebut Iwan. “Semakin dibuka semakin jelas tulisan PT. Persero Angkasa Pura,” kenangnya dengan suara lirih.

Eka segera membawa jenazah suaminya ke rumah dan berusaha menjelaskan kepada anak-anaknya yang menangis tidak terima. Di balik sakit yang luar biasa dirasakan, dia harus menahan tangis dan kesedihan agar terlihat tegar di depan anak-anaknya. 

Eka masih belum percaya bahwa mobil L300 yang berisikan bahan peledak seberat 1 ton meledak begitu dekat dengan mobil suaminya. Dia membayangkan bagaimana Iwan yang sedang melintas untuk kembali ke kantor tanpa tahu apapun ikut menjadi korban. Termasuk membayangkan warga yang berupaya mendorong mobil tersebut ke pinggir jalan karena ditinggal begitu saja dan menyebabkan jalanan menjadi macet. Di saat warga berkerumun itulah bom diledakkan menggunakan remot dari jarak jauh.

Memaafkan demi Masa Depan 

Menjadi orangtua tunggal bagi anak-anak yang masih kecil tentu bukanlah hal mudah bagi Eka. Dia harus menahan di dalam hati segala beban yang dirasakan untuk tampil kuat di depan kedua putranya. Di samping itu, dia masih harus mencari pekerjaan agar anak-anaknya terus berkecukupan. 

Meskipun tidak mudah, Eka bertekad untuk tidak pernah menunjukkan beban yang dihadapi di depan putra-putranya. Meski akibat menyimpan beban sendirian, tidak jarang dia berteriak sambil menangis di jalanan saat mengendarai motor. Bahkan, sempat berteriak saat sedang dalam sebuah pertemuan bersama teman-teman penyintas karena tidak kuasa lagi untuk menahan siksaan batin sejak kepergian suaminya. 

Baca juga Memaafkan untuk Ketenangan Hati

Atas saran teman sesama korban, Eka menjalani konseling untuk mengurangi beban yang dia sandang. Juga agar selalu kuat untuk anak-anak.

“Karena anak-anak ibu bangkit. Kalau ibu rapuh, anak-anak akan rapuh, siapa yang akan merawatnya, yang akan mengurusnya? Kalau ibu kuat, anak-anak ibu pasti akan kuat. Ibu harus menyelamatkan masa depan anak-anak. Imanlah yang membangkitkan batin kami. Semua adalah atas kehendak Allah, tidak mungkin Allah memberikan ujian di luar batas kemampuan,” pesannya kepada para siswa yang menyimak kisahnya dengan haru.

Eka kemudian menceritakan bagaimana anak pertamanya sempat memiliki dendam kepada teroris dan bercita-cita untuk menjadi polisi agar bisa membalas apa yang terjadi kepada bapaknya. Sang anak juga pernah memberontak karena merasa tidak ada yang peduli dan sayang kepadanya. 

Eka merasakan bahwa anak-anaknya pun turut mengalami trauma yang terpendam karena tidak tahu harus bercerita kemana. Trauma tersebut dikhawatirkan akan memperparah rasa dendam yang dimiliki sang anak jika tidak diiringi dengan afirmasi positif darinya. karena itulah, Eka pun berusaha untuk memaafkan pelaku meskipun dengan proses yang tidak instan. Dia merasa harus memaafkan terlebih dahulu sebelum membuat anaknya melupakan dendam kepada para teroris. 

Eka cukup kaget ketika anak salah satu pelaku terorisme datang ke rumah dan meminta maaf kepada anak pertamanya. Dia sempat khawatir dendam yang dimiliki keduanya akan menimbulkan pertikaian besar. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Mereka saling berjabat tangan dan memaafkan.

“Kami memaafkan apa yang mereka lakukan supaya jangan melakukannya lagi dan menyuarakan perdamaian, tidak membalasnya dengan kekerasan. Bukan hal yang mudah untuk memaafkan. Bagaimana mungkin kita tidak punya rasa marah dan dendam? Tapi kita tidak melakukan hal seperti itu, karena kami merasakan cukup kami (saja) merasakan betapa sakitnya itu, jangan orang lain,” tutur Eka.

Tak hanya itu, menurut Eka memberikan maaf agar hidup bisa berjalan dan menatap masa depan secara lebih baik. “Tidak perlu ada dendam karena dendam itu tidak akan mengembalikan yang mati jadi hidup kembali. Cukuplah kami yang jadi korban, jangan ada korban yang lain. Kejadian itu tidak akan pernah bisa ibu lupakan, tapi memaafkan lebih baik. Karena dendam tidak akan pernah mengembalikan sesuatu,” pungkasnya. [WTR]

Baca juga Mewujudkan Harapan Mendiang Suami

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *