29/05/2020

Semangat Perdamaian SMA Al-Faqih Tasikmalaya

Aliansi Indonesia Damai- Paham yang mengarah kepada kekerasan harus ditolak, terutama oleh kalangan pelajar sebagai generasi penerus pembangunan bangsa. Kisah mereka yang pernah terlibat dalam paham dan aksi kekerasan terorisme bisa diambil hikmah oleh kalangan muda.

Hal ini dikemukakan oleh Syam Fauzan, Wakil Kepala Sekolah SMA Islam Terpadu Al-Faqih Tasikmalaya Jawa Barat, saat memberikan sambutan dalam Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” beberapa waktu silam. Kegiatan tersebut digelar oleh AIDA dalam rangka mengampanyekan perdamaian di kalangan pelajar. Kegiatan menghadirkan Sumarno, mantan pelaku terorisme, dan Susi Afitriyani, korban bom Kampung Melayu tahun 2017.

Baca juga Pesan Damai Guru Tasikmalaya

Syam Fauzan mengapresiasi kegiatan tersebut karena sesuai dengan semangat pendirian sekolahnya. Semangat perdamaian harus dipraktikkan dan dijiwai oleh setiap siswa. “Pondok Pesantren Al-Faqih ini didirikan oleh pendirinya dengan semangat dakwah melalui jalur pendidikan,” ujarnya.

Ia meminta agar para murid SMA IT Al-Faqih tidak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk belajar dari pengalaman hidup narasumber yang dihadirkan oleh AIDA. “Kita harus bisa belajar dari mana pun dan sekarang kita bisa ambil hikmah dan ilmunya sehingga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bisa lebih damai lagi,” tutur Syam.

Baca juga Berbagi Kisah Inspiratif di SMAN 3 Serang

Dalam sesi inti, Susi Afitriyani atau akrab disapa Pipit berbagi kisah tentang jalan hidup yang harus ditempuhnya usai terkena ledakan bom. Ia menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya karena harus mengalami luka secara fisik dan psikis. Pipit adalah tulang punggung bagi keluarganya karena sang ayah meninggal dunia. Ia kuliah dengan biaya mandiri sembari bekerja untuk membantu perekonomian keluarga.

Pipit mengalami trauma akibat peristiwa yang terjadi 3 tahun silam itu. Namun seiring perjalanan waktu, dengan dukungan teman-teman kuliah dan sesama penyintas, perlahan dirinya bisa bangkit dari keterpurukan. “Alhamdulillah saya terasa terlahir kembali. Meski fisik saya tidak sempurna, saya mencoba melampaui rasa sedih dan menjadi lebih baik,” ungkap Pipit.

Baca juga Berdamai dengan Masa Lalu

Sementara Sumarno berbagi kisah tentang keterlibatannya di dunia kekerasan. Ia terlibat sebagai penyuplai senjata dalam konflik Poso-Ambon tahun 1999-2000. Atas keterlibatan tersebut, Sumarno dihukum penjara selama 3 tahun. Kesadaran dan perubahan sikap Sumarno dimulai ketika berada di penjara. Dirinya menyadari bahwa banyak kemudaratan dari perbuatan yang dahulu ia yakini benar.

Pengalaman kelam itu mendorongnya untuk berbagi kisah agar tidak ada siswa yang terjebak dalam kelompok terorisme. Ia mengaku semakin yakin untuk terlibat dalam kampanye perdamaian setelah bertemu para korban yang dengan jiwa besar memaafkan kesalahannya. “Hati saya tersayat mendengar kisah para korban. Saya meminta maaf. Alhamdulillah beliau-beliau ini memaafkan,” ucap pria yang punya nama alias Asadullah itu.

Baca juga Ada Kemudahan di Balik Kesulitan

Di akhir kegiatan, salah seorang siswa mengaku terkesan dengan kisah hidup korban bom yang dengan ikhlas memaafkan perbuatan pelakunya. Ia mengaku terinspirasi dari korban untuk menyebarkan perdamaian di lingkungannya. “Saya terkesan dengan kisah korban. Berbagai cobaan hidup yang dijalani, tidak mungkin melampaui batas kemampuan seseorang. Kita bisa melampaui cobaan hidup,” ucapnya.[FS]

Baca juga Pembelajaran dari Penyintas dan Mantan Ekstremis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *