30/05/2020

Kompensasi dalam Etika Keadilan

oleh: Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia

Sebagai bentuk pertanggungjawaban negara, korban terorisme berhak mendapatkan kompensasi. Hal ini diatur dalam UU No. 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme revisi atas UU No.15 Tahun 2003.

Dalam kajian etika keadilan, kompensasi korban terorisme adalah bagian dari distribution of justice, di mana negara harus melakukan distribusi sumber daya yang sama kepada masyarakat. Gagasan ini berdasarkan falsafah utilitarianisme yang dikembangkan filsuf Inggris, Jeremy Bentham, yang ia sebut dengan ethics of care.

Baca juga Desisten dari Terorisme

Bagi Bentham, keadilan adalah suatu keadaan di mana kondisi masyarakat dapat memeroleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama rata. Kekuasaan harus peduli dengan masyarakat yang kurang mampu. Secara teknis, prinsip ini diterapkan salah satunya dengan mengambil hak orang-orang yang beruntung untuk diberikan kepada orang yang kurang beruntung melalui pajak yang dikelola oleh negara. Korban terorisme adalah salah satu pihak yang kurang beruntung itu.

Korban dalam banyak peristiwa teror kerap luput dari perhatian publik, lantaran lebih terfokus pada penegakan hukum terhadap pelaku serangan. Padahal bicara tentang korban bukan hanya soal jumlahnya, tetapi tentang dampak yang terjadi setelah peristiwa tersebut; luka fisik, trauma psikis, kehilangan pekerjaan, kehilangan tulang punggung keluarga, dan lainnya.

Baca juga Mewaspadai Propaganda Ekstremisme Saat Pandemi

Ada sejumlah peristiwa teror yang memberikan dampak sangat parah dan berkepanjangan terhadap korbannya, antara lain Bom Bali 2002 dan 2005, Bom Marriot 2003 dan 2009, dan Bom Kedubes Australia 2004. Semuanya terjadi belasan tahun silam dan negara masih abai atas hak-hak mereka, khususnya kompensasi.

Ada perempuan yang harus membesarkan anak-anaknya sendiri karena suaminya meninggal dunia dalam tragedi kemanusiaan itu, ada korban yang harus mengalami disabilitas sehingga menurunkan produktivitasnya, banyak pula yang harus menjalani pengobatan secara kontinyu. Mereka selama ini berjuang sendiri untuk bangkit dari segala keterpurukan, bahkan masih ada yang belum sepenuhnya bangkit baik secara ekonomi, psikis, ataupun sosial.

Baca juga Nalar Kritis Benteng Ekstremisme

Fakta tersebut mengisyaratkan bahwa kompensasi sangat penting sebagai perwujudan prinsip etika keadilan dalam suatu relasi kuasa. Ada beberapa alasannya. Pertama, kondisi yang memprihatinkan dari para korban, baik yang mengalami cedera fisik bahkan hingga disabilitas, ataupun dampak psikis hingga membuat mereka tidak lagi produktif dalam bekerja dan berdampak pada kesejahteraan keluarganya.

Dalam konsep keadilan John Rawls, mereka (korban) tidak berada dalam “posisi asali” (original position) di mana setiap orang dalam masyarakat berada dalam situasi yang sama dan setara, tidak ada yang lebih tinggi satu dengan yang lain, baik kemampuan, kekuatan atau kecerdasan.

Baca juga Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian

Kedua, di tengah tingginya kebutuhan hidup membuat korban harus diposisikan sama secara kapasitas. Hal ini sejalan dengan kritik penganut teori keadilan terhadap pemikiran kelompok libertarian. Bagi pengusung prinsip kebebasan individu (individual freedom) itu,  tidak mungkin kebebasan dalam persaingan akan menghasilkan kesejahteraan yang merata tanpa kapasitas yang sama pada posisi awalnya. Dalam konteks korban, kapasitas mereka tidak lagi sama dengan masyarakat pada umumnya sehingga harus mendapatkan kebijakan afirmatif.

Ketiga, gagalnya negara dalam melindungi warganya dari ancaman keamanan. Kompensasi adalah bentuk tanggung jawab negara memberikan ganti rugi kepada korban terorisme. Negara dibentuk atas dasar kesepakatan antarmanusia (social contract) supaya tidak ada lagi perang dan agar manusia bebas beraktivitas dengan tenang dan aman. Pelaku terorisme dan korban tidak memiliki keterkaitan langsung, tetapi pelaku memiliki masalah dengan negara dan aparaturnya karena perbedaan pandangan terhadap sistem kenegaraan.

Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi

Keempat, negara harus menerapkan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan hidup (the principle of fair equality of opportunity), seperti kesempatan untuk bisa bersaing, menunjukan kualifikasi, dan lainnya. Hal ini senada dengan pemikiran Immanuel Kant, bahwa semua orang harus memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai status yang diinginkan.

Atas dasar pemikiran-pemikiran tersebut, meskipun terlambat, negara harus menunaikan hak kompensasi korban terorisme demi menegakkan etika keadilan. Publik harus terus mengawal aturan ini, karena permasalahan yang kerap muncul adalah inkonsistensi pihak berwenang dalam menjalankan amanat UU.

Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *