Desisten dari Terorisme
Oleh Laode Arham
Alumni Pascasarjana Kriminologi, Universitas Indonesia
Meskipun jaringan terorisme terus saja bertumbuh, namun selalu saja ada mantan pelaku/narapidana terorisme (napiter) yang berhenti dari ideologi ekstremisme dan kelompok terorisme. Langkah tersebut dalam kriminologi disebut dengan desisten dari terorisme. Salah satu mantan napiter yang bisa diambil sebagai pelajaran adalah Kurnia Widodo (46 tahun).
Sarjana kimia dari perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung ini paling mahir membuat bom dalam lingkaran kelompoknya. Ia sudah bergabung dengan kelompok ekstrem Negara Islam Indonesia (NII) saat mengenyam pendidikan SMA di Lampung (1991), lalu belajar meracik bom semasa kuliah. Ia menggambarkan dirinya sendiri sebagai pribadi yang kaku, anti-Pancasila, dan anti-NKRI. Hingga akhirnya ia tertangkap dan dipenjara tahun 2010. Kurang lebih selama 20 tahun Kurnia hidup dalam lingkungan ekstremisme.
Baca juga Mewaspadai Propaganda Ekstremisme Saat Pandemi
Desistensi pria lima anak tersebut dimulai dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Cipinang, Jakarta Timur. Dari pelbagai sumber primer maupun sekunder yang penulis pelajari tentang Kurnia Widodo, maka desistensi terorisme mantan murid Aman Abdurrahman ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, desistensi karena akuntabilitas moral keagamaan (Denney, 2018). Faktor ini dialami oleh Kurnia ketika bertemu dengan kelompok napiter kooperatif dan para tokoh agama berpaham moderat di Lapas. Sebagaimana diketahui bahwa Lapas bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menghadirkan beberapa ustaz dalam kegiatan Deradikalisasi di Lapas-lapas (Simon dan Sudirman, 2015). Melalui program keagamaan ini, Kurnia menemukan pemahaman baru tentang beberapa ajaran dalam Islam yang berbeda dari apa yang dia dapatkan sebelumnya (dari NII dan bekas gurunya Aman Abdurrahman).
Baca juga Nalar Kritis Benteng Ekstremisme
Kedua, berhenti dari terorisme membutuhkan proses dan waktu yang tidak pendek. Bushway et al. (2001) dalam Ishoy & Kruis (2018) menyebutkan bahwa salah satu proses desisten adalah dengan menjalani proses pengurangan pelanggaran pidana (remisi) dan parole (pembebasan bersyarat/PB). Bagi kelompok napiter nonkooperatif dan atau takfiry, menerima remisi dan PB dapat menyebabkan seseorang keluar dari Islam.
Kurnia memutuskan keluar dari kelompoknya di Lapas dan mulai menjauhi pemahaman atau ajaran yang dianut salah satu faksi dalam organisasi ekstrem tersebut (pengikut Aman Abdurrahman). Upaya tersebut merupakan langkah awal menuju desistensi jangka panjang dari kejahatan terorisme (Maruna, 2001; Ishoy & Kruis, 2018). Keputusan Kurnia untuk menerima PB juga merupakan hasil pendekatan psikologi sosial kognitif (pembinaan kepribadian) yang setiap hari dilakukan oleh petugas Lapas.
Baca juga Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian
Ketiga, dalam perjalanan desistensi tersebut Kurnia berjumpa dengan para korban bom/aksi terorisme. Salah satu teori desistensi, yakni teori identitas desensi (ITD) (Paternoster dkk, 2015), menjelaskan bahwa pada saat pelaku kejahatan merasa bersalah dan takut akan dosa-dosa, serta ada keinginan untuk menemukan makna baru dalam hidup mereka, maka akan berusaha untuk memiliki identitas baru (berhenti dari kejahatan). Langkah awal menuju desisten terjadi melalui citra tentang dampak yang dialami oleh para korban bom, sesuatu yang tidak diinginkan atau ditakutkan sebagai dosa besar olehnya.
Untuk memertahankan langkah-langkah di atas, Kurnia menciptakan citra baru yang lebih positif tentang apa yang ia inginkan sebagai identitas prososial. Ia kemudian mengirimkan pesan tersebut ke pelbagai pihak dan publik bahwa ia ingin kembali menjalani kehidupan normal seperti masyarakat pada umumnya. Kini ia benar-benar desisten dari terorisme. Ia menjadi duta perdamaian, aktif mengampanyekan bahaya ekstremisme kepada khalayak luas demi mencegah jatuhnya korban-korban tak bersalah akibat aksi kekerasan.
Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi