25/05/2020

Tiga Tahun Bom Kampung Melayu: Penyintas Move On (Bag. 2-Terakhir)

Berbeda dengan Jihan dan Pipit yang memang berdiri di kompleks Terminal Kampung Melayu saat bom meledak, Tasdik Saputra sedang mengendarai sepeda motornya kala mendengar ledakan keras seperti ban bus pecah. Malam itu ia dalam perjalanan pulang dari kantornya. Jalanan padat karena tengah berlangsung pawai obor untuk menyambut bulan Ramadan.

Karena mendengar suara teriakan, Tasdik memutuskan turun dari kendaraannya dan berniat membantu korban yang terluka, kendati belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Terlihat olehnya seorang polisi berlumuran darah tergeletak di bawah motor-motor yang roboh. Saat merundukkan badan untuk mengangkat tubuh polisi tersebut, ledakan kembali terjadi. “Jarak ledakan sekitar tiga meter dari posisi saya waktu itu,” ujarnya mengingat.

Baca juga Tiga Tahun Bom Kampung Melayu: Penyintas Move On (Bag. 1)

Sembari berlari menjauh dari titik ledakan, Tasdik merasakan darah mengucur deras dari tangannya. Saat merabanya, ia merasa kulit tangan kanannya robek panjang seperti seekor ikan yang dibelah. Telinganya juga terus berdengung.

Otot tangan kanan Tasdik ternyata putus. Ia harus menjalani rawat inap selama seminggu di rumah sakit, selebihnya perawatan jalan dan terapi rutin. Ia absen bekerja selama 1 bulan penuh untuk pemulihan.

Setelah tiga tahun peristiwa tragis itu berlalu, Tasdik mengaku ikhlas menerima apa yang terjadi. Tidak tebersit rasa dendam dan marah kepada para pelaku. “Semua berharap tidak ada yang ingin menjadi korban. Namun jika saya bertemu dengan pelaku tidak akan mendendam. Saya berfikir positif kepada Allah Swt,” ucapnya beberapa waktu lalu.

Baca juga Setelah 22 Tahun, Sudan Divonis Bayar Kompensasi Korban Terorisme

Mirip dengan Tasdik, Agung Nugroho Laksono yang berprofesi sebagai sopir angkutan kota juga terkena ledakan bom kedua saat hendak membantu mengevakuasi korban. Dampak serangan teror itu, Agung harus menjalani operasi pada bagian kakinya. Selama 6 bulan lamanya, ia berhenti bekerja karena harus rutin ke rumah sakit untuk menjalani rehabilitasi medis, serta menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.

Meski sempat marah kepada pelaku, Agung kini tidak lagi menaruh perasaan dendam. “Saya berpikir yang utama masih diberikan kesehatan. Kejadian ini sudah lama, saya sudah lepas semua hati dan pikiran. Saya tidak mendendam sama sekali,” tuturnya.

Baca juga Peristiwa Iman sebagai Pendewasaan

Melepaskan kemarahan dan dendam adalah pintu awal untuk membangun rekonsiliasi dan terciptanya kedamaian antarpihak. Athalia Amer dalam The Oxford Handbook of Religion, Conflict, and Peace Building (2015) memaknai rekonsiliasi sebagai persandingan dan bererat tangan dengan bersikap adil kepada kedua belah pihak.

Bagi korban bom, pilihan untuk memaafkan bisa jadi pilihan yang berat. Namun hal itu memberikan energi positif bagi mereka. Pipit, Jihan, dan Agung kini telah tergabung dalam Tim Perdamaian AIDA. Bersama mantan narapidana terorisme yang telah insaf, mereka bahu-membahu mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas. [FS]

Baca juga Mendengar Penuturan Pendamping Korban Bom Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *