23/05/2020

Tiga Tahun Bom Kampung Melayu: Penyintas Move On (Bag. 1)

Menjelang Ramadan tiga tahun silam, tepatnya 24 Mei 2017 malam, dua ledakan bom mengguncang kawasan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur. Peristiwa itu menyebabkan lima orang meninggal dunia (dua di antaranya adalah pelaku) dan puluhan lainnya mengalami cedera.

Salah seorang korban luka adalah Susi Afitriyani, mahasiswi salah satu kampus swasta di Jakarta. Saat menunggu angkutan umum yang akan mengantarkannya pulang ke indekos, bom meledak di dekat tempatnya berdiri. Pipit, demikian sapaan akrab Susi Afitriyani, mengalami cedera di beberapa bagian tubuhnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, tulang pangkal lengan kanannya patah, sehingga harus dipasang pen yang masih menancap hingga kini.

Baca juga Setelah 22 Tahun, Sudan Divonis Bayar Kompensasi Korban Terorisme

Secara psikis Pipit juga sempat mengalami trauma. Ia kerap merasa ketakutan saat mendengar suara petasan. “Kadang suka trauma. Namun, saya sadar rasa trauma ini harus dilawan untuk kebaikan diri saya ke depannya. Karena jika tidak, kita akan selalu ketakutan,” ujarnya dalam kegiatan AIDA beberapa waktu silam.

Perempuan asal Brebes ini nyaris patah arang untuk bisa merengkuh gelar sarjana, lantaran kondisi fisiknya yang tak lagi prima. Namun dorongan dan semangat dari orang-orang di sekelilingnya membuatnya bangkit.

Baca juga Peristiwa Iman sebagai Pendewasaan

Pipit mengaku telah mengikhlaskan semua yang terjadi. Memendam amarah tak akan mengembalikan semua seperti sedia kala. Sebaliknya Pipit bertekad menjemput masa depannya dengan melanjutkan pendidikan meskipun dengan kondisi tubuh yang tak lagi prima. Baginya, tiada kata menyerah dalam hidup.

Saat kejadian, Pipit sedang bersama Jihan Thalib, teman sekampusnya yang juga menjalani peran seperti Pipit, bekerja di siang hari dan menjalani kuliah malam. Jihan juga mengalami cedera di banyak bagian tubuhnya. Untuk memulihkan kondisinya, perempuan peranakan Arab ini harus menjalani operasi untuk mengeluarkan gotri yang bersarang di tubuhnya.

Baca juga Mendengar Penuturan Pendamping Korban Bom Surabaya

Tangannya pun terluka. Total ada 7 jahitan di punggung dan 5 jahitan di tangan. Gendang telinga Jihan pecah akibat kerasnya suara ledakan. Bukan hanya itu, secara psikis, Jihan juga mengalami trauma selama sekitar 4 bulan. “Saya takut ketika mendengar suara ledakan petasan karena rasanya seperti dikembalikan ke masa itu. Saya juga takut melewati daerah tersebut,” katanya.

Ia meyakinkan dirinya bisa melewati rasa takut dan nyatanya berhasil. Masa-masa sulit bisa cepat dilaluinya karena berdamai dengan diri sendiri dan menerima keadaan. Dukungan dan motivasi dari keluarga juga sangat membantu Jihan melalui hal tersebut.

Baca juga Peristiwa Iman untuk Pemaafan

“Saya mencoba berusaha bersyukur dan ikhlas dengan keadaan. Kita tentu pernah mengalami ketidakpuasan dalam hidup ini. Namun ketika ada banyak orang yang keadaannya lebih terpuruk, saya merasa tidak seharusnya merasa demikian. Dengan begitu saya merasa lega,” ujarnya.

Peristiwa-peristiwa menyakitkan seperti kecelakaan atau kekekerasan memang kerap memicu munculnya gangguan psikis. Kombinasi keikhlasan menerima apa yang menimpa, kepasrahan pada Allah, dan optimisme menjemput masa depan memercepat pemulihan fisik dan psikis dua perempuan muda itu. (bersambung) [FS]

Baca juga Dua Tahun Bom Surabaya: Ikhlas Obat dari Segala Obat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *