18/06/2020

PP Hak Korban Terorisme Harus Lekas Terbit

Aliansi Indonesia Damai- Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 yang merevisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memperkuat banyak aspek pemenuhan hak-hak korban terorisme. Sayangnya ada beberapa pasal yang tidak akan terimplementasikan jika tak didukung dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai regulasi turunan. Jika PP tak kunjung terbit, maka korban terorisme lama (peristiwanya terjadi sebelum UU revisi) tak bisa mendapatkan hak-haknya dari Negara yang belum pernah mereka terima.

Hal ini diungkapkan oleh Syafiq Syeirozi, Program Manager Rehabilitasi AIDA, dalam diskusi daring bertajuk “Perempuan Korban Bom; Jalan Senyap Menuju Keadilan.” Kegiatan ini diselenggarakan oleh Working Group on Women and Preventing/Countering Violent Extremism (WGWC) pada Kamis (11/06/2020).

Baca juga Pesan Antikekerasan Pelajar Bukittinggi

Syafiq menjelaskan, ada sejumlah regulasi tentang pemenuhan hak-hak korban terorisme, di antaranya UU No. 15 tahun 2003, UU No. 31 tahun 2014, PP No. 7 tahun 2018, dan yang terbaru adalah UU No. 5 tahun 2018. Beberapa pasal dalam UU No. 15/2003 mengatur hak-hak korban terorisme, yaitu kompensasi dari negara dan restitusi dari pelaku.

Namun amanat kompensasi baru terimplementasikan pada akhir 2017. Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan kompensasi kepada 7 orang korban Bom Samarinda.  Selanjutnya negara kembali menunaikan hak kompensasi kepada 17 korban terorisme atau ahli warisnya, yaitu 13 orang korban Bom Thamrin, 3 orang korban Bom Kampung Melayu, dan 1 orang korban penyerangan Mapolda Sumatera Utara.

Baca juga Suara Korban yang Jarang Terdengar

“Artinya, selama 15 tahun lebih diberlakukan, amanat kompensasi baru terlaksana untuk para korban dari empat peristiwa tindak pidana terorisme. Padahal dalam catatan saya, dalam rentang waktu tersebut terjadi lebih dari 12 kali aksi terorisme yang menimbulkan banyak korban, tidak termasuk serangan-serangan tunggal terhadap personil kepolisian,” ucapnya.

Pada September 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan amar putusan atas nama terdakwa Masrizal bin Ali Umar Alias Mas’ud, pelaku Bom JW Marriot 2003. Majelis hakim menyatakan bahwa para korban bom berhak mendapatkan kompensasi. “Namun putusan tersebut tidak mencantumkan identitas para penerima. Walhasil amar putusan tidak pernah terlaksana,” ucapnya.

Baca juga Pesan Damai Kepala SMA Hasyim Asy’ari Batu

Syafiq menerangkan, regulasi lain yang lebih progresif adalah UU No. 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam UU ini, korban terorisme selain berhak mendapatkan kompensasi dan restitusi, juga berhak mendapatkan rehabilitasi medis, psikis, dan psikososial dari Negara.

LPSK sebagai pelaksana mandat menerbitkan buku hijau yang menjamin pengobatan medis korban bom dalam rentang waktu tertentu serta menetapkan rumah sakit rujukan. “Ada beberapa korban yang mendapatkannya. Meski jumlahnya tak banyak karena LPSK terkendala tidak adanya surat keterangan sebagai korban terorisme,” ucapnya.

Baca juga Cerdas Bermedia Sosial

Regulasi yang paling maju menurut Syafiq adalah UU No. 5 tahun 2018. Melalui UU ini, negara beberapa kali memberikan hak kompensasi kepada korban terorisme, misalnya korban bom Surabaya, Mapolda Riau, sampai yang terbaru adalah bom Sibolga. Selain itu, UU ini juga menggariskan bahwa korban terorisme lama (peristiwanya terjadi sebelum UU revisi) yang belum mendapatkan kompensasi, rehabilitasi medis, psikis, dan psikososial maka dapat mengajukannya kepada negara sebelum Juni 2021. Hal ini tentu memberikan angin segar kepada mereka.

Baca juga Makna Damai di Mata Siswa SMAN 6 Cirebon

“Semua korban dari peristiwa Bom Bali 2002 dan 2005, Bom Marriott 2003 dan 2009, Bom Kuningan 2004, Bom Gereja Solo 2011, dan Bom Mapolresta Cirebon 2011 belum ada yang mendapatkan kompensasi,” ujarnya.

Teknis implementasi permohonan dan pemberian kompensasi korban terorisme digantungkan kepada PP. Hingga kini belum ada kepastian PP akan terbit. Menurut Syafiq, kini tak ada kata lain, PP harus segera terbit agar para korban terorisme tak menunggu godot. “Godot adalah sosok fiktif dalam drama karya Samuel Beckett yang sampai akhir kisah, sosok tersebut tidak pernah muncul dan hanya ada dalam imajinasi para aktor drama dan penontonnya,” katanya.[NOV]

Baca juga Harapan Guru Pandeglang pada Generasi Remaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *