Ketegaran Korban Bom Kuningan
Aliansi Indonesia Damai- Peristiwa Bom Kuningan 2004 membuatnya menderita. Ia mengalami luka yang amat parah di bagian kepala, bahkan harus menanggung sakit selama enam tahun lamanya. Musibah itu juga membuat perekonomian keluarganya terpuruk. Ia tak mampu lagi bekerja. Demi membayar biaya pengobatan dan kebutuhan keluarga, ia terpaksa menjual rumah satu-satunya.
“Kalau ingat (kejadian) itu saya suka sedih, suka nangis saya kalau ingat masa-masa itu,” ujarnya. Namun musibah itu bukanlah akhir dari perjalanan hidupnya. Ia memilih tegar, menerima peristiwa yang terjadi, dan bangkit menyongsong masa depan kehidupan keluarganya. “Bagi saya kuncinya adalah bersabar dan tawakal,” ujarnya.
Baca juga Berjuang untuk Sesama Korban Bom
Kamis pagi menjelang siang, 9 September 2004, Sarbini memulai pekerjaannya memasang kabel optik internet di lantai 7 gedung Plaza 89. Letaknya tepat di depan kantor Kedubes Australia yang menjadi target serangan. Baru setengah jam, tiba-tiba ledakan besar terjadi. Dinding kaca yang berjarak setengah meter dari tempatnya berdiri hancur dan runtuh. Sementara tubuh Sarbini terhempas sejauh 3 meter.
Sarbini sempat berteriak meminta tolong. Namun lantaran terlalu banyak darah yang mengucur, ia pingsan. Tidak berselang lama rekan kerjanya datang dan segera membawanya ke RS Medistra. Ia menjalani operasi dan mendapatkan sekitar 50 jahitan di sekujur tubuh dan baru tersadarkan dua hari pascaperistiwa.
Baca juga Penderitaan Ganda Korban Terorisme
Sarbini cemas dan bingung akan biaya yang harus ditanggung. Keluarga Sarbini juga belum tahu tentang kondisinya karena tas dan kartu identitasnya tak terbawa saat dievakuasi. Pada hari keempat, Sarbini dibesuk oleh Pemprov DKI dan dibebaskan dari tanggungan biaya pengobatan. Saat itu ia juga diliput oleh beberapa stasiun televisi. Dari situlah keluarga besar dan tetangga di sekitar tempat tinggalnya mendapatkan kabar keberadaan Sarbini.
“Setelah melihat saya di TV, warga dari kampung saya di Tangerang banyak tuh yang datang ke RS. Saya memutuskan pulang sama warga. Sesampainya di rumah pun saya banyak mendapat bantuan dari warga,” ungkapnya. Dukungan moril dari saudara dan tetangga sangat berarti bagi Sarbini serta keluarganya. Selain biaya kontrol ke RS terbantu, dukungan itu juga menguatkan Sarbini untuk tabah menghadapi musibah.
Baca juga Korban Bom Kuningan Merasa Beruntung Saat Buntung
Selama enam tahun Sarbini tidak bisa bekerja. Istrinya menggantikan peran Sarbini mencukupi kebutuhan hidup keluarga dengan bekerja sebagai office girl. Gaji yang diterimanya belum bisa dikatakan cukup. Karena itulah meski masih dalam fase pemulihan, ia bersikeras membantu sang istri memasak nasi uduk, dan membuat aneka kue jajanan pasar untuk dijual istrinya sebagai pekerjaan sampingan.
Baca juga Memahami Rencana Tuhan
Setelah pulih, Sarbini membuka usaha bengkel las. Sejak saat itu, perlahan ekonomi keluarga mulai stabil. Selain dukungan keluarga, saudara, dan tetangga sekitar, Sarbini juga sering mendapatkan nasehat dari seorang ustadz yang biasa menjadi imam di masjid dekat rumahnya. Ia kerap mendapatkan nasehat untuk bersabar, tawakal, dan menerima apa adanya yang terjadi.
“Musibah bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan pada siapa saja. Musibah yang kita alami pasti ada hikmahnya,” begitulah pesan Sarbini yang selalu disampaikannya.
Baca juga Meluaskan Jiwa Merangkul Luka