18/10/2020

Pesan Ketangguhan SMAN 1 Gemuh Kendal

Aliansi Indonesia Damai- Keterbatasan fisik tak selayaknya diratapi sepanjang waktu. Sejumlah korban terorisme harus mengalami disabilitas lantaran terkena bom. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk bangkit dan menyongsong kehidupan baru di masa depan.

Salah seorang pelajar SMAN 1 Gemuh, Kabupaten Kendal mengatakan, kisah ketangguhan korban terorisme layak menjadi inspirasi bagi generasi muda. Meski harus menjadi penyandang disabilitas akibat tragedi kemanusiaan itu, para korban mampu membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk berbagi kebaikan kepada orang lain.

Baca juga Meneladani Kisah Korban Bom Bali

“Yang bisa kita tunjukkan kepada orang lain bukanlah fisik, tapi apa (manfaat: red) yang bisa kita lakukan kepada orang lain, meskipun kita tidak memiliki fisik yang sempurna,” ujarnya dalam kegiatan dialog interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang digelar AIDA secara virtual, beberapa waktu lalu.

Seorang pelajar lain mengaku bersyukur atas kondisinya setelah mendengar kisah pilu kehidupan korban. Di tengah terpaan penderitaan, korban masih bersemangat untuk melanjutkan hidup. Ia mengetahui ternyata begitu banyak orang yang memiliki keterbatasan justru masih semangat melanjutkan hidup. “Kita harus semangat melanjutkan hidup karena setiap orang pasti memiliki kelebihan masing-masing yang tertanam dalam dirinya,” ungkapnya.

Baca juga Semangat Damai dalam Perbedaan

Selain pembelajaran dari kisah korban, para pelajar juga mengambil pelajaran dari kisah hidup mantan pelaku terorisme yang telah insaf. Salah seorang pelajar mengatakan bahwa paham-paham yang membenarkan kekerasan sangat berbahaya. Namun demikian, setiap kita mempunyai tanggung jawab untuk menyelamatkan saudara-saudara kita yang terpapar paham kekerasan.

“Paham ekstrem itu harus kita lawan. Namun orang yang pernah terpapar harus kita jaga dan kita rawat, agar bisa kembali berbaur dengan masyarakat,” ucapnya.

Di sesi akhir, Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi meminta pelajar agar menjauhi kelompok yang membenarkan aksi-aksi kekerasan. “Siapapun dan dari kelompok mana pun, kalau sudah mengajak pada kekerasan, tidak hanya kekerasan bom, tetapi juga kekerasan bullying, tidak perlu diikuti. Karena itu menjadi jalan untuk menjadi pelaku kekerasan,” ucapnya berpesan.

Baca juga Motivasi Kebangkitan dari Korban Bom

Dalam kegiatan ini, AIDA menghadirkan Susi Afitriani alias Pipit, korban Bom Kampung Melayu 2017, dan Choirul Ikhwan alias Irul, mantan narapidana terorisme. Pipit membagikan kisahnya saat terkena ledakan bom di kawasan Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur pada 24 Mei 2017 usai pulang kuliah. Akibat peristiwa itu, pangkal lengan kanannya patah. Serangkaian upaya medis tak memulihkan kondisi tangannya seperti sediakala. Kendati kondisi fisiknya terbatas, Pipit tetap berjuang meneruskan kuliahnya yang sempat terhenti selama masa penyembuhan, demi menggapai cita-cita menjadi sarjana.

Sementara Irul menuturkan sepak terjangnya selama bergabung dalam kelompok ekstremisme kekerasan. Karena perbuatannya, Irul harus menjalani hukuman penjara selama beberapa tahun. Ia telah menginsafi perbuatannya dan kini berkomitmen untuk menyuarakan perdamaian kepada khalayak luas. [AH]

Baca juga Siswa Tasikmalaya Belajar Menjadi Generasi Tangguh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *