17/10/2020

Tantangan Pemenuhan Hak Korban Masa Lalu

Oleh: Laode Arham
Master Kriminologi Universitas Indonesia

Peringatan Bom Kuningan 2004 serta Bom Bali 2002 dan 2005 pada tahun ini terasa berbeda karena situasi pandemi. Namun ada kabar baik bagi para korban terorisme masa lalu. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2020 pada Juli lalu, yang antara lain mengatur tentang pemberian kompensasi bagi korban terorisme masa lalu, dimulai dari korban Bom Bali 2002.

Pada September 2020, Kementerian Keuangan juga sudah menyetujui Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) Penghitungan Kompensasi Korban Tindak Pidana Terorisme yang diajukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kemenkeu telah menetapkan plafon maksimal kompensasi, batas tertinggi yang tidak dapat dilampaui. Nominal kompensasi akan disesuaikan dengan ketersediaan anggaran negara. Satuan biaya kompensasi korban terorisme mencakup kompensasi imateriel dan materiel. Kompensasi imateriel dibagi dalam 4 kondisi: luka ringan, luka sedang, luka berat, dan meninggal dunia.

Baca juga Hak-Hak Korban Terorisme Masa Lalu

Pemerintah juga akan mengganti kerugian materiel. Kerugian yang ter-cover oleh kompensasi ini meliputi dua jenis: (1) kompensasi atas hilang atau rusaknya harta benda sesuai bukti riil; (2) hilangnya penghasilan atau pendapatan yang dihitung berdasarkan UMR tertinggi dikalikan lamanya korban tidak bekerja dengan batas maksimal 24 bulan. Selain tentang kompensasi, SBML tersebut juga menetapkan bahwa korban meninggal di masa yang akan datang akan mendapatkan santunan kematian.

Disebutkan juga bahwa kompensasi materiel tersebut hanya dapat diberikan kepada korban di masa yang akan datang. Para korban terorisme lama tidak akan mendapatkan kompensasi atas kerugian materiel yang pernah mereka alami. Tentu saja ini keputusan yang berat untuk diambil pemerintah, mengingat akan sangat sulit untuk menghitung jumlah kerugian materiel korban masa lalu. Barangkali ada yang dapat menunjukan bukti-bukti kerugian materiel mereka, namun kebanyakan tidak dapat menunjukan bukti fisik, tercatat atau dokumen resmi. Kiranya ini menjadi bagian dari kebesaran hati para korban masa lalu.

Baca juga Tak Henti Mendukung Korban

Sebab, berapa pun nilai kompensasi tersebut, tidak akan pernah menggantikan luka hati, derita fisik dan psikis yang pernah dan atau masih mendera. Tetapi setidaknya ada tanggung jawab negara atas hilangnya sesuatu yang mereka miliki.

Sebagaimana diatur dalam PP No. 35 tahun 2020, dalam rangka pemenuhan hak tersebut, para korban masa lalu bisa mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK paling lambat 22 Juni 2021. Permohonan ini harus dilampiri dengan, antara lain, surat penetapan korban dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Publik tentu berharap agar lembaga Negara berwenang bekerja keras untuk segera mengumpulkan data seluruh korban terorisme masa lalu. Seyogyanya negara mempunyai bank data korban, sejak korban bom Bali 1 tahun 2002. Selain itu, LPSK sebagai lembaga yang mendapatkan mandat pemenuhan hak korban terorisme masa lalu juga sudah mempunyai profiling, asesmen, dan rencana intervensi kepada setiap korban.

Baca juga Rilis Pers Aliansi Indonesia Damai (AIDA) terkait Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban

Sependek pengetahuan penulis, betapa aparat kepolisian berjibaku betul siang malam, berbulan-bulan tidak pulang ke rumah, hanya untuk menemukan seorang pelaku terorisme. Militansi seperti ini perlu dimiliki oleh pihak lembaga Negara berwenang dalam menemukan dan memastikan siapa saja korban masa lalu. Satu korban sama nilainya dengan seluruh warga negara.

Korban bom Kuningan, Sucipto Wibowo, pernah menyatakan, “Keberhasilan suatu negara dalam membangun perdamaian terletak pada kemampuan negara untuk hadir dalam menghilangkan penderitaan dan meningkatkan kesejahteraan korban terorisme.”

Pemberian kompensasi, pemulihan fisik, psikis dan psikososial korban, sesungguhnya merupakan upaya simbolik pemerintah untuk memulihkan kekuatan dan moral negara dalam menghadapi kelompok teroris. Mereka yang menjadi martir itu merupakan monumen hidup tentang ketahanan masyarakat dan bangsa dalam membangun perdamaian. Oleh karenanya, upaya pemulihan itu harus benar-benar melalui usaha yang maksimal dan hasil yang maksimum nilainya.

Baca juga Presiden Teken PP Pemberian Kompensasi Bagi Korban Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *