15/10/2020

Semangat Damai dalam Perbedaan

Aliansi Indonesia Damai – Generasi muda Indonesia harus bersemangat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan mengutamakan perdamaian. Keberagaman bangsa tengah diuji oleh pelbagai hal, seperti hoaks, provokasi, dan adu domba. Dalam situasi demikian, apa yang dilakukan AIDA dengan melibatkan korban terorisme dan mantan pelaku ekstremisme kekerasan untuk menyuarakan perdamaian sangat positif.

Korban dan mantan pelaku adalah pihak yang otoritatif mengingat pengalaman hidup masing-masing. Kepala SMKN 2 Klaten, M Woro Nugoro, mengutarakan pernyataan tersebut saat membuka kegiatan Dialog Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh yang digelar AIDA secara daring, pada Rabu (13/10/20).

Baca juga Motivasi Kebangkitan dari Korban Bom

Woro menjelaskan, secara usia, para pelajar masih dalam masa pencarian jati diri, berwatak labil, sehingga belum bisa menyaring informasi ataupun ajakan yang mengarah pada kekerasan. “Media sosial daring kerap menjadi medan adu hujat antarkelompok masyarakat. Tak jarang berita bohong (hoax) serta fitnah digunakan sebagai sarananya,” ucapnya.

Rendahnya pemahaman atas kehidupan berbangsa dan bernegara juga dapat membuat siapa pun terseret dalam upaya adu domba. “Anak-anak belum memiliki referensi yang memadai akan informasi yang mereka dapatkan,” katanya.

Baca juga Siswa Tasikmalaya Belajar Menjadi Generasi Tangguh

Ia berharap bahwa kegiatan yang dilaksanakan AIDA  ini bisa meningkatkan pemahaman anak-anak didiknya atas kehidupan bangsa yang beragam, baik agama, suku, budaya, dan ras. Dengan bekal tersebut, siswa-siswi dapat menjalani kehidupan ini dengan penuh persaudaraan, persatuan, dan toleransi. “Hidup secara harmonis dan terwujudnya negara damai juga menjadi misi lain dalam kegiatan ini,” katanya menutup sambutan.

Dalam kegiatan ini, AIDA menghadirkan Ni Luh Erniati, istri korban Bom Bali 2002, dan Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Keduanya berbagi pengalaman hidupnya masing-masing. Erniati berkisah tentang perjuangannya membesarkan kedua putranya usai sang suami meninggal akibat serangan Bom Bali 2002. Sementara Iswanto bertutur tentang sepak terjangnya di jaringan ekstremisme kekerasan hingga akhirnya memutuskan bertobat dan memilih jalan perdamaian. [NOV]

Baca juga Bersyukur sebagai Terapi Kebangkitan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *