21/10/2020

Menyegerakan Kompensasi Korban Masa Lalu

Sudah tiga bulan lebih Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2020 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban diterbitkan. Implementasi beleid tersebut kini dinanti, utamanya kompensasi bagi korban terorisme masa lalu.

Kompensasi korban terorisme bukan berarti belum pernah diberikan. Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menunaikan kompensasi kepada sebagian korban terorisme. Langkah yang laik apresiasi tersebut mesti didorong agar semakin sempurna menjangkau seluruh korban terorisme yang belum menerima kompensasi.

Terkhusus kepada korban terorisme di masa lalu, pemberian kompensasi wajib disegerakan implementasinya. Secara umum bisa dikategorikan, yang dimaksud korban masa lalu adalah mereka yang terdampak, baik langsung maupun tak langsung, secara fisik atau nonfisik, materiel atau imateriel, dari serangan terorisme sejak peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 hingga sebelum terbitnya UU No. 5 Tahun 2018 tentang Revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Baca juga Tantangan Pemenuhan Hak Korban Masa Lalu

Kategorisasi ini merujuk pada fakta bahwa pemberian kompensasi dari negara kepada korban terorisme, bila dilihat dari sisi kronologi terjadinya aksi teror, baru dilakukan pada akhir tahun 2017. Saat itu Negara memberikan kompensasi kepada 7 orang korban serangan Bom Samarinda yang terjadi pada November 2016.

Kompensasi belum menyentuh para korban peristiwa teror yang terjadi sebelum tahun 2016.  Padahal, sejak republik ini memiliki aturan hukum tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni Perppu No. 1 Tahun 2002 yang disahkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan kemudian disempurnakan menjadi UU No. 5 Tahun 2018, hak kompensasi korban sudah disebutkan. Namun lantaran adanya kekurangan di sana-sini, maka kompensasi belum terbayarkan kepada korban selama belasan tahun.

Disebut ada kekurangan karena setidaknya; pertama, tidak ada petunjuk teknis pelaksanaan kompensasi korban terorisme sebagai aturan turunan dari UU No. 15/2003. LPSK pun baru dibentuk pada 2008. Kedua, masih lemahnya perhatian publik terhadap korban.

Baca juga Rilis Pers Aliansi Indonesia Damai (AIDA) terkait Penerbitan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban

Periode 2003 hingga 2016 hampir tidak ada penuntut umum yang mengajukan kompensasi korban dalam dakwaan di persidangan pelaku teror. Hanya satu, yaitu persidangan tertanggal 2 September 2004 terhadap terdakwa Masrizal alias Tohir -pelaku serangan bom di Hotel JW Marriott Jakarta yang terjadi pada 5 Agustus 2003- di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menyebut kompensasi korban. Amar putusan majelis hakim memang telah memerintahkan pemberian kompensasi kepada para korban dengan perincian korban meninggal dunia diberikan Rp10 juta kepada ahli warisnya; korban luka berat mendapatkan Rp5 juta; dan korban luka ringan Rp2,5 juta. Namun sayang, putusan pengadilan tersebut tidak pernah terimplementasikan.

Pemberlakuan PP No. 35/2020 sebagai aturan turunan dari UU No. 5/2018 menjadi angin segar bagi korban lama. Pasal 44B ayat (1) PP No. 35/2020 menyebutkan, “Korban Tindak Pidana Terorisme Masa Lalu berhak mendapatkan: a. Kompensasi; b. bantuan medis; atau c. rehabilitasi psikososial dan psikologis.” Aturan yang sangat jelas ini wajib menjadi kesadaran semua pihak demi tercapainya tujuan dari kebijakan itu sendiri, yaitu tertunaikannya kompensasi kepada korban terorisme masa lalu.

Baca juga Presiden Teken PP Pemberian Kompensasi Bagi Korban Terorisme

Langkah-langkah taktis mesti segera diambil oleh para pihak, khususnya korban terorisme dan lembaga negara selaku pemangku kebijakan. LPSK penting untuk melakukan sosialisasi PP No. 35/2020 seluas-luasnya baik kepada korban terorisme maupun kepada kementarian/lembaga yang terkait. Sosialisasi PP No. 35/2020 kepada korban terorisme masa lalu penting untuk dimasifkan, serta harus memuat penjelasan rinci mengenai syarat, tata cara, tenggat waktu, dan informasi penting lainnya terkait pengajuan permohonan kompensasi.

Sesuai amanat Pasal 44D ayat (3) PP No. 35/2020, LPSK mesti segera merampungkan penyusunan segala peraturan yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan kompensasi korban terorisme masa lalu.

Bagi para korban terorisme sendiri, setelah menerima sosialisasi PP No. 35/2020 dan memahaminya, sebaiknya segera mengajukan permohonan kompensasi. AIDA mendorong agar pengajuan permohonan dilakukan secara kolektif melalui organisasi atau paguyuban korban terorisme.

Baca juga Mengawal Implementasi PP Hak Korban

Harus diingat bahwa setelah permohonan kompensasi diajukan, tidak seketika itu juga korban terorisme masa lalu bisa mendapatkan haknya. Masih ada rangkaian proses yang memakan waktu. Di antaranya adalah pemeriksaan berkas permohonan di LPSK, juga proses pengajuan anggaran dari LPSK kepada Kementerian Keuangan. LPSK seyogyanya menjalin komunikasi intensif dengan paguyuban korban terorisme untuk menginformasikan nama-nama yang telah memenuhi syarat dan yang masih harus melengkapi dokumen-dokumen persyaratan.

Lebih lanjut ketika proses asesmen penentuan status atau kategorisasi dilakukan, prinsip rasional, bijak, dan berkeadilan wajib dijunjung tinggi. Dalam hal ini para pemangku kebijakan di kementerian/lembaga terkait sebagai kepanjangan tangan negara harus menyadari bahwa sebesar apa pun nilai kompensasi yang diberikan, sesungguhnya tidak dapat menggantikan kerugian yang dialami para korban. Untuk itu, sudah semestinya kompensasi dengan besaran maksimal diberikan kepada para korban sesuai dengan tingkat kerugian yang diderita masing-masing.

Baca juga Mendorong Terobosan Pemenuhan Hak Korban Lama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *