02/06/2020

Mendorong Terobosan Pemenuhan Hak Korban Lama

Tanpa mengecilkan masalah pandemi Covid-19, berbagai kewajiban negara yang belum terpenuhi tetap harus dikawal. Sebab, memang bukan hanya wabah penyakit ini pekerjaan rumah (PR) yang harus ditangani. Di antara PR yang belum dipenuhi negara adalah penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 (UU No. 5/2018) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya yang mengatur tentang pemenuhan hak-hak korban.

Sama halnya dengan kebijakan penanganan Covid-19, keberadaan PP tersebut amatlah penting dan mendesak. Terhitung sejak peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002, hingga kini ada ratusan korban dari aksi terorisme yang belum dipenuhi hak-haknya. Salah satunya adalah hak kompensasi, ganti rugi dari negara yang dibayarkan kepada korban.

Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan

Apresiasi layak diberikan, sejak 2018 kompensasi terhadap korban terorisme telah mulai diberikan negara, melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Akan tetapi, harus disadari bahwa pemberian kompensasi tersebut baru menyentuh para korban yang peristiwa terornya terjadi belakangan, yang mana persidangan pelakunya relatif masih berjalan, seperti kasus Bom Thamrin (Januari 2016); Bom Samarinda (November 2016); Bom Kampung Melayu (Mei 2017); dan Bom Surabaya (Mei 2018).

Korban-korban dari peristiwa teror yang telah belasan tahun berlalu, seperti Bom Bali I (Oktober 2002); Bom JW Marriott I (Juli 2003); Bom Kuningan (September 2004); atau Bom Bali II (Oktober 2005) -yang persidangan pelakunya tentu saja sudah berakhir- belum satu pun yang menerima kompensasi. Padahal, secara kuantitas jumlah korban yang masuk kategori “korban lama” ini jauh lebih banyak ketimbang korban dari aksi teror lima tahun belakangan. Hak kompensasi terhadap mereka memang sudah tercantum sejak 2003 dalam UU No. 15/2003, dan kemudian diperkuat lagi dalam UU hasil revisi, yaitu UU No. 5/2018. Sayang, hingga hari ini ganti rugi negara terhadap korban lama belum juga terlaksana.

Baca juga Idulfitri Tak Kenal Pandemi

Problemnya adalah belum diterbitkannya PP seperti dijelaskan di awal. Mengacu pada Bab VIIC Ketentuan Peralihan, Pasal 43L ayat (7) UU No. 5/2018, keberadaan PP yang dimaksud menjadi kunci implementasi kompensasi terhadap korban aksi teror di masa lalu. PP ini seperti tertulis dalam pasal tersebut mengatur “ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pelaksanaan” kompensasi terhadap korban lama.

Pemerintah sebagai representasi negara saat ini dituntut untuk membuat terobosan luar biasa, mengingat pemenuhan hak korban terorisme lama bisa dikatakan telah melewati fase ideal. Dikatakan demikian sebab berdasarkan Pasal 46B UU No. 5/2018 terdapat ketentuan bahwa “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Tanda tangan Presiden Joko Widodo dibubuhkan tanggal 21 Juni 2018 sebagai tanda sahnya UU No. 5/2018, dan sehari berselang UU tersebut resmi berlaku. Idealnya, 22 Juni 2019 lalu mestinya negara telah memiliki PP tentang pemenuhan hak korban aksi teror di masa lalu.

Baca juga Kemenangan Sejati Korban Terorisme

Tahun 2020 ini, alih-alih korban lama bisa segera mengajukan permohonan kompensasi, justru mereka -seperti halnya masyarakat luas- harus dihadapkan pada tantangan baru, penurunan ekonomi imbas pandemi Covid-19.

Namun, berbeda dengan kebanyakan masyarakat, para korban teror menanggung lesunya perekonomian bersamaan dengan luka dan derita yang mereka bawa sepanjang sisa hidup semenjak tragedi teror menimpa. Para penyintas teror bom, misalnya, rata-rata mereka mengalami kecacatan atau setidaknya penurunan kekuatan fisik yang memaksa mereka tidak bisa kembali ke pekerjaan lamanya, atau tidak bisa melakukan pekerjaan berat seperti orang yang tidak pernah terkena ledakan bom.

Baca juga Virus Corona dan Semangat Persatuan

Oleh sebab itu, ganti rugi tunai dari negara sangat dibutuhkan dan dinantikan. Tertundanya penerbitan PP tentang pemenuhan kompensasi korban lama selain kurang memenuhi rasa keadilan, juga memaksa mereka merasakan derita kekorbanan kedua (secondary victimization).

Belajar dari epidemi virus korona di mana pemerintah sigap mengerahkan segala sumber daya untuk mengatasi berbagai persoalan, langkah-langkah darurat juga perlu ditempuh agar pemenuhan hak korban terorisme lama -yang sudah tak ideal itu- tidak semakin jauh panggang dari api.

Baca juga Mengejar Waktu Pemenuhan Kompensasi Korban Lama

Terobosan luar biasa dalam rangka pemenuhan hak korban terorisme wajib menjadi kesadaran bersama, khususnya kementerian/lembaga terkait. Semangat negara ketika menghadapi pandemi virus korona bisa -atau bahkan mesti- diterapkan dalam rangka percepatan pemenuhan hak-hak korban teror lama.

Kinerja ekstra dari berbagai kementerian/lembaga sangat diharapkan agar PP dari UU No. 5/2018 tentang pemenuhan kompensasi korban lama bisa segera diterbitkan. Terkait draf Rancangan PP, misalnya, peran Kementerian Sekretariat Negara sangat sentral, yaitu untuk segera menindaklanjuti draf yang telah diserahkan Kementerian Hukum dan HAM. Semakin cepat penggodokan semakin cepat PP diterbitkan. Langkah terobosan dari LPSK, Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), serta Kementerian Keuangan juga sangat diperlukan dalam hal ini. Di antaranya terkait alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar kompensasi korban terorisme lama.

Baca juga Harapan Baru Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Para pihak terkait mesti memastikan APBN 2021 memuat alokasi untuk pembayaran kompensasi korban lama. Bukan tanpa alasan, ketentuan di Pasal 43L ayat (4) UU No. 5/2018 memberi tenggat waktu para korban lama bisa mengajukan permohonan kompensasi, yaitu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU berlaku. Dengan kata lain, para korban lama hanya punya waktu sampai 22 Juni 2021 untuk mengajukan permohonan kompensasi. Lewat dari itu, kompensasi yang diharapkan selamanya hanya akan menjadi impian.

Lebih dari itu, kebijaksanaan Presiden serta politik keberpihakan dari para wakil rakyat di parlemen sangat dibutuhkan untuk mengegolkan segera diterbitkannya PP Pemenuhan Hak-hak Korban Terorisme sebagai aturan turunan dari UU No. 5/2018.

Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *