20/10/2020

Generasi Z Menghadapi Ekstremisme

Aliansi Indonesia Damai- Anak-anak muda kelahiran tahun 2000-an dikenal dengan generasi Z. Mereka yang terlahir pada tahun-tahun itu pada umumnya memiliki karakter ingin dikenal dan motivasi tinggi untuk mengenal hal-hal baru.

Mereka menyukai tantangan dan sesuatu yang baru ketimbang apa yang diinisiasi oleh generasi terdahulu. Penggunaan medium teknologi bersamaan dengan derasnya informasi di sekelilingnya ikut membentuk karakter yang kuat di kalangan generasi Z.

Baca juga Dari Penyintas Muda untuk Perdamaian Indonesia

Adagium klasik “anak muda harapan bangsa” tetap relevan hingga kini. Tak ayal generasi Z diharapkan dapat membaca, mewaspadai, dan menangkal berbagai potensi negatif yang berkembang di sekitarnya, termasuk kekerasan atas nama agama. Saat ini penyebaran ekstremisme agama di kalangan generasi Z cukup mengkhawatirkan.

Dalam proses pencarian identitasnya yang sering dianggap gamang, generasi Z sangat getol dalam memanfaatkan teknologi internet. Melalui fasilitas inilah, terutama media sosial, sejumlah kelompok melakukan penyebaran ajaran kekerasan, termasuk ekstremisme agama. Media sosial dipilih lantaran berbiaya murah, memiliki daya pengaruh efektif, dan tidak mengenal sekat batas geografis.

Baca juga Mantan Ekstremis Bicara Jihad

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Seraphin Alava (dkk), dalam Youth and Violent Extremism on Social Media Mapping the Research (2020), generasi muda merupakan usia yang cukup rentan terpapar oleh paham radikalisme yang berpotensi kepada kekerasan. Menurut riset ini pula, cara yang efektif untuk mencegah generasi muda terpapar paham ekstremisme kekerasan adalah menyediakan literatur dan narasi alternatif  yang lebih kuat.

AIDA dalam pelbagai kegiatan kampanye perdamaian di sekolah-sekolah tingkat menengah atas menghadirkan penyintas terorisme dan mantan pelaku terorisme sekaligus. Harapannya para pelajar sebagai generasi Z dapat mengambil pembelajaran dari kisah kedua pihak tersebut.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas (Bag. 1)

Cerita pilu dari penyintas menyadarkan kita bersama, bahwa cukuplah mereka yang menderita atas aksi-aksi kekerasan yang merusak kehidupan. Ketika mendengar kisah-kisah mereka, terkadang saya meneteskan air mata dan bergumam dalam hati, jika saya berada di posisi tersebut, tak terbayang rasa kepedihan sepanjang hayat.

Dari para penyintas, generasi Z dapat melihat langsung dampak buruk aksi-aksi kekerasan, termasuk yang mengatasnamakan agama. Sementara dari mantan pelaku terorisme, generasi Z dapat memelajari pengalaman mereka yang pernah terjerumus dalam jejaring ekstremisme dan kemudian menyesalinya. Jejak pertobatan mereka yang harus diteladani, bukan apa yang dilakukannya dahulu.

Saya percaya generasi Z memiliki peran yang besar dalam menjaga perdamaian baik di lingkungan terdekat seperti keluarga, masyarakat sekitar, maupun negara.

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar dari Penyintas (Bag 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *