30/10/2020

Komitmen Anak Korban dan Pelaku Terorisme untuk Perdamaian

Aliansi Indonesia Damai- Memeringati momentum Sumpah Pemuda, AIDA menyelenggarakan Kongres Nasional Pemuda untuk Perdamaian Indonesia secara daring pada Selasa (27/10/2020). Acara ini diikuti 135 siswa SMA dari berbagai sekolah di penjuru tanah air. Di antara narasumber yang dihadirkan adalah Zulia Mahendra, anak dari pelaku Bom Bali 2002, Amrozi, dan Made Bagus Aryadana, anak dari korban Bom Bali 2002, I Gede Badrawan.

Sebagai anak pelaku pengeboman dan hidup dalam lingkungan keluarga dengan paham kekerasan, tak mudah bagi Mahendra untuk tumbuh menjadi pemuda yang mencintai perdamaian. Label sebagai “anak teroris” atau “keluarga teroris” tak bisa lepas dari dirinya. Bertahun-tahun, bermacam pandangan negatif masyarakat melekat kuat padanya. Meski demikian, Mahendra memiliki keteguhan hati untuk bisa menjadi generasi penerus yang memegang perdamaian. Ia ingin menjadi teladan yang baik untuk anak-anaknya kelak.

Baca juga Semangat Siswa Lampung Menebar Damai

“Kalau bisa jangan lagi ada kekerasan. Jangan lagi ada hal-hal yang bisa menyakitkan teman-teman kita, penduduk Warga Negara Indonesia. Kita cinta damai lah. Karena dengan kedamaian kita menambah saudara dan keluarga. Kata damai itu kita junjung tinggi dengan hati, bukan dengan emosi,” kata Mahendra.

Mahendra menuturkan bahwa dirinya telah meminta maaf kepada para korban atas kesalahan masa lalu ayahnya. Kini, ia justru bersahabat baik dengan anak-anak korban Bom Bali. “Alhamdulillah sekarang sudah seperti keluarga, dengan anak-anak korban seperti kakak beradik. Kami berbagi mulai dari pengalaman hingga pekerjaan. Kalau ke Bali gitu, main ke sana seperti rumah keluarga sendiri,” ujarnya.

Baca juga Generasi Tangguh Belajar dari Pengalaman

Pada kesempatan yang sama, Mahendra juga meminta maaf kepada korban Bom Bali yang hadir dalam kegiatan ini. “Saya meminta maaf sebesar-besarnya. Kejadian pasti ada hikmahnya. Saya minta maaf atas nama keluarga saya, bapak saya. Sebagai anak dan generasi penerusnya, saya benar-benar meminta maaf. Untuk ke depan agar bisa lebih baik, menjalin silaturahmi sebagai keluarga. Kita jaga perdamaian bersama. Jangan sampai ada kejadian seperti itu lagi,” tutur Mahendra.

Sementara sebagai anak korban, Made Bagus Aryadana yang mendampingi ibunya, Ni Luh Erniati, memberikan respons yang sangat positif atas pernyataan Mahendra. “Semua hal yang sudah lewat tidak perlu diungkit kembali, karena Made sendiri sudah mengikhlaskan apa yang sudah terjadi sama keluarganya Made,” katanya.

Baca juga Menumbuhkan Jihad Belajar

Sebelumnya, Ni Luh Erniati, atau yang biasa disapa Erni, membagikan kisahnya menghadapi masa-masa sulit setelah suaminya, I Gede Badrawan, meninggal dunia. Ia harus membesarkan Made dan kakaknya seorang diri. Saat itu, Made masih berusia 1,5 tahun dan belum mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya.

Erni mengalami kesulitan menjelaskan pada Made bahwa ayahnya telah meninggal. Bertahun-tahun ia mencoba menutupinya dari Made. “Saya bilang, ‘adek, papa kerja, nanti pulang bawah oleh-oleh’. Kenapa saya pilih itu, karena kalau saya jelaskan dia tak paham,” ujar Erni.

Puncaknya, di usia 9 tahun, Made menangis terus meminta agar ayahnya pulang. Di saat itulah Erni menjelaskan bahwa ayahnya telah meninggal. Made menangis histeris, namun Erni berhasil menenangkannya. Hingga kini, Erni terus mendidik Made untuk menghilangkan segala dendam. “Itu perjuangan untuk anak saya,” ujar Erni. [LADW]

Baca juga Bangkit Berkat Dukungan Orang Terdekat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *