27/04/2021

Menyerap Ibroh dari Kehidupan Penyintas Bom Bali I

Aliansi Indonesia Damai- Beberapa waktu lalu, AIDA bekerjasama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa IAIN Purwokerto, menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya (13/4). Kegiatan yang digelar secara daring ini diikuti seratus lebih mahasiswa dari berbagai jurusan dan fakultas.

Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Ni Luh Erniati, korban Bom Bali 2002. Suaminya, I Gede Badrawan, meninggal dunia dalam serangan bom di kawasan Legian Kuta Bali, 18 tahun silam. Ia sempat sangat terpuruk karena saat itu kedua anaknya masih sangat belia.

Baca juga Menumbuhkan Iklim Perdamaian di Kampus

Dalam kesempatan itu Erni berbagi kisah tentang lika-liku kehidupan keluarganya. Tak mudah untuk bangkit dari musibah itu, apalagi harus mengikhlaskan kepergian suami sekaligus melihat kenyataan bahwa anak-anaknya yang masih kecil harus kehilangan ayahnya. Kendati demikian, Erni mengaku belajar berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. Dengan cara itu ia perlahan bangkit dan mampu keluar dari keterpurukan.

“Dengan demikian saya bisa bangkit kembali dan melawan semua ini serta bekerja dan menyembuhkan diri saya sendiri terlebih dahulu,” ujar perempuan yang tergabung dalam komunitas korban bom Bali Yayasan Isana Dewata itu.

Baca juga Dialog Mahasiswa Universitas Peradaban dengan Mantan Napiter

Erni mengatakan, awalnya sangat sulit untuk menerima kenyataan, terlebih kepada pelakunya. Namun perlahan tapi pasti, Erni mulai menemukan kedamaian hidup ketika belajar tentang makna permaafan. Ia lantas bertemu mantan pelaku. Ia memilih memaafkan, dan bahkan bersahabat dengan salah seorang pelaku yang telah insaf. Erni meyakini bahwa perdamaian tak mungkin terwujud dengan dendam.

“Kami bisa saling memaafkan dan saling menerima dan bekerja sama untuk masa depan kita semua. Karena itu satu hal yang paling penting dalam kehidupan kita adalah tidak menciptakan kekerasan di dalam kehidupan kita,” jelas Erni.

Baca juga Mengenalkan Perspektif Korban kepada Mahasiswa

Dalam kesempatan yang sama, ketua pengurus Yayasan AIDA, Hasibullah Satrawi mengatakan kisah korban adalah sumber utama ketika ingin melihat dampak dari aksi-aksi kekerasan. Menurutnya, kekerasan terhadap orang lain, apalagi sampai melukai dan menghilangkan nyawa adalah bentuk kezaliman yang nyata.

“Ada yang kena luka bakar, luka rahang, dan kehilangan kaki. Begitu juga ketika bicara tentang background mereka yang terkena, mereka terdiri dari berbagai latar belakang. Disebutkan dalam ajaran agama, barangsiapa yang membunuh satu orang, maka seakan membunuh banyak manusia,” tutur alumni Al-Azhar Kairo Mesir itu.

Baca juga Belajar dari Kehidupan Korban Kekerasan

Di akhir pemaparannya, Hasibullah mengajak mahasiswa untuk berfikir kritis dan berdiskusi tentang diskursus keagamaan seluas-luasnya. Namun, apabila diskusi itu sudah mengarah pada aksi-aksi kekerasan, Hasibullah mewanti-wanti mahasiswa untuk menghindarinya.

Tak lupa ia juga mengajak mahasiswa untuk turut berkontribusi dalam pembangunan perdamaian. “Kita harus melakukan sesuatu untuk mereka, karena kita bisa saja menjadi orang-orang yang menjadi korban jika tidak melakukan sesuatu,” katanya, memungkasi penjelasannya. [FS]

Baca juga Membangun Perdamaian di Universitas Peradaban Bumiayu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *