Pemuda dan Dakwah di Media Sosial
Oleh Chubbi Syauqi
Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Prodi Manajemen Pendidikan Islam IAIN Purwokerto, alumni kegiatan Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as yang digelar AIDA.
Pemuda kini adalah agen penerus bangsa di masa depan. Ia juga sering juga disebut sebagai generasi milenial. Ia lahir ketika zaman teknologi dan informasi tumbuh semakin pesat dan pekat. Teknologi dan informasi menjadi bagian dari kehidupannya yang sulit dipisahkan. Tak mengherankan bila media komunikasi pada akhirnya merembes pada aspek kognitif, afektif, serta psikomotorik generasi milenial. Oleh sebab itu, generasi milenial memiliki ketergantungan yang begitu pekat terhadap teknologi.
Generasi ini memiliki rentang usia kisaran 15-34 tahun. Teknologi dan media informasi telah membersamai generasi milenial hingga membentuk lifestyle kehidupannya. Di era globalisasi ini, generasi milenial diterpa tantangan yang kian kompleks. Dalam mengarungi arus global, pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mempunyai ilmu dan ketakwaan.
Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad
Hal ini senada dengan ucapan Imam Syafii, “Jika ada pemuda yang tidak memanfaatkan masa mudanya dengan baik, ia serupa pemuda yang tiada arti.” Eksistensi dari seorang pemuda ialah dengan ilmu dan ketakwaan. Seandainya tidak ada keduanya, maka ia bagaikan tiada jati diri.
Membincang generasi milenial seolah tiada habisnya. Mereka memiliki karakter unik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sehingga dalam menghadapi mereka perlu memakai strategi tersendiri. Salah satu buku yang mengulas tentang wajah Islam generasi milenial yakni buku Muslim Milenial: Catatan dan Kisah Wow Generasi Milenial (2018). Karya bunga rampai itu membahas seluk-beluk keislaman generasi milenial mulai dari social media, gaya hidup, dakwah hingga isu perdamaian, fenomena mengaji online, hingga fashion muslimah.
Baca juga Analisis Budaya: Halalbihalal
Beberapa penelitian menunjukan bahwa generasi milenial merupakan kelompok yang rentan terhadap ajaran ekstremisme kekerasan. Mode gerak dari kaum ekstremis kerapkali berlindung di balik agama, bahkan menyelinap dalam media sosial guna mendistribusikan ajarannya. Kelompok ekstrem begitu memahami peluang ajarannya dapat diterima oleh generasi milenial dengan medium media sosial. Akibatnya, ajaran dan paham ekstremisme begitu menjamur di media sosial. Tentu kita dapat rasakan, imbas dari menjamurnya paham ekstrem adalah banyak muncul ujaran kebencian, saling mengkafirkan dan saling menyalahkan.
Berkaca pada kehidupan pemuda Islam saat ini, ada dua nilai Islam yang mulai hilang. Pertama, nilai pemahaman pemuda Islam pada konsep Islam. Yang kedua adalah memudarnya nilai penerapan dan nilai-nilai yang diwariskan oleh pemuda Islam. Pemudaran nilai konsep pemahaman Islam antara lain berkenaan dengan pemahaman teks-teks Islam berupa Al-Qur’an, hadis Nabi, kitab-kitab klasik, serta penguasaan bahasa Arab yang lazim digunakan pada literatur Islam sekaligus amaliyah sehari-hari, dan ditambah lagi menjamurnya konten-konten pembelajaran Islam instan yang digawangi oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab.
Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban
Tiga hal ini menjadi inti sengkarut atas hilangnya konsep pemahaman Islam yang rawan menyeret Islam ke gerbang kehancuran. Sedangkan dalam penerapan nilai-nilai Islam, ketidaksesuaian praktik ajaran Islam dalam realitas kehidupan menjadi masalah-masalah yang masif terjadi saat ini. Sebagaimana yang dapat kita saksikan, mengenai menjamurnya konten-konten yang diproduksi oleh pihak tak bertanggung jawab menelurkan pemuda Islam yang berideologi ekstrem. Hal ini didukung oleh banyak survei yang mengungkapkan bahwa narasi-narasi ekstremisme banyak menyasar kalangan milenial.
Kita tahu, di media sosial, tensi narasi tentang agama cenderung naik. Banyaknya konten kajian keislaman telah menjadi tren yang menghiasi media sosial. Kendati demikian, tren keagamaan di media sosial lebih tampak pada penyebaran isu-isu keagamaan ketimbang pesan agama. Imbasnya, banyak pemuda yang terpapar oleh virus islamisme. Virus islamisme ini sebagaimana yang diungkapkan Bassam Tibi dalam bukunya Islam dan Islamisme (Mizan, 2016).
Baca juga Memberantas Terorisme
Menurut dia, Islam secara eksplisit berupaya memperluas ajarannya ke seluruh dunia. Sedangkan islamisme berupaya mengubah universalisme Islam menjadi internasionalisme politik. Kelompok ekstrem berkeinginan mengubah tatanan bentuk negara-negara berdaulat dengan satu komando Islam berupa khilafah. Islamisme menawarkan ummah bentukan (invented ummah). Dalam pandangan Bassam Tibi, Ummah islamisme tidak memberi tempat pada Islam tradisional yang beriman, melainkan hanya sebuah gerakan politik yang mendukung pemberlakuan hukum syariat (Tibi, 2016: 44).
Dalam upaya menghalau gerakan islamisme yang begitu santer akhir-akhir ini, upaya yang dilakukan yakni dengan mendakwahkan Islam wasathiyah. Kata dakwah secara etimologi terambil dari bahasa Arab da’a, yad’u, da’watan yang memiliki arti menyeru, memanggil, mengajak. Sedangkan istilah lain dakwah juga bisa disebut dengan kata tabsyir yang memiliki arti gembira (Fajar, 2002: 25).
Baca juga Menakar Persepsi tentang Terorisme
Risalah dakwah Islam yakni berupa damai, santun, dan indah. Berkaitan dengan tugas dakwah, sejatinya setiap muslim wajib berdakwah. Berkaitan dengan hal ini perlu kiranya kita renungkan sabda Rasulullah SAW, “Sebarkanlah ilmu yang aku sampaikan, walaupun hanya satu ayat.” Ini hadis yang terkenal namun tak banyak yang mampu mengamalkan.
Kendati demikian, alasan yang kerap digunakan untuk melegitimasi seseorang untuk enggan berdakwah adalah tidak adanya kapasitas dan kesiapan. Sebagian orang menghindar dari aktivitas ini dengan alasan tersebut. Alih-alih alasan seperti ini nampak sebagai sebuah kebenaran. Namun, semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan dakwah. Hal yang perlu disadari oleh kita , bahwa dakwah tidak harus melalui mimbar-mimbar pengajian, dan bergelar ustadz maupun kiai.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 1)
Aktivitas mengajak teman untuk ke masjid juga bernilai dakwah. Terlebih di era 4.0 ini, kita dapat memakai berbagai sarana untuk berdakwah. Karena itu, kita sebagai generasi muda yang di pundak terpikul harapan-harapan penerus bangsa, harus bisa bersinergi dan mengisi dakwah Islam yang santun, damai, penuh persaudaraan dan moderat.
Dalam strategi dakwahnya, milenial perlu mengenal istilah pribumisasi Islam yang dulu dicanangkan oleh Gus Dur. Pribumisasi secara konsep yakni meleburkan Islam ke kebudayaan. Namun, dalam praktiknya tidak mesti melulu dengan kearifan lokal daerah melainkan kearifan lokal zaman serta pergerakan zaman. Konsep pribumisasi yang sesuai dengan situasi saat ini yakni melalui teknologi. Melalui medium teknologi, kita dapat melakukan dakwah di ranah media sosial yang selama ini menjadi lahan gerakan konservatisme maupun ekstremisme.
Baca juga Tarbiah Perdamaian (Bag. 2)
Melalui media sosial kita dapat membuat konten positif sebanyak-banyaknya. Dalam konten tersebut kita dapat menampilkan misalnya tentang kebanggaan menjadi muslim Indonesia. Ceritakanlah keanekaragaman yang ada di negeri ini yang sangat kaya. Perbedaan merupakan sunnatullah alias keniscayaan.
Selama ini konten yang disukai oleh masyarakat adalah narasi-narasi yang berbau perdebatan, kontroversi yang menelurkan makhluk bernama bullying. Miris melihat semakin banyaknya konten-konten video yang merusak persatuan bangsa dan ukhuwah Islamiyah juga banyak menjangkiti para pemuda. Lalu bagaimana masa depan pemuda Islam di Indonesia?
Dalam pada itu, saya teringat akan sebuah ungkapan mahfudhat yang sering diajarkan di pesantren yakni, Syubbanul Yaum, Rijaalul Ghod (pemuda saat ini adalah pemimpin di masa depan). Jika generasi muda baik, maka akan memberikan dampak yang baik pada agama, negara dan bangsa. Dari hasil telaah di atas, digambarkan jelas betapa signifikansi peran pemuda dalam berdakwah sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal sengkarutnya wajah Islam yang banyak diwarnai oleh kaum ekstremisme, pemuda dapat menangkalnya dengan metodologi pribumisasi teknologi yakni meleburkan Islam ke teknologi sebagai medan dakwah pemuda.
Baca juga Tarbiah Perdamaian: Berakhirnya Kekerasan (Bag. 3-Terakhir)