Tiga Tahun Bom Surabaya: Menyalurkan Inspirasi Ketangguhan
Aliansi Indonesia Damai- Tiga tahun silam, 13 Mei 2018, 3 ledakan bom terjadi secara beruntun di beberapa lokasi di Surabaya, antara lain Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (SMTB) di Jalan Ngagel, Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) di Jalan Arjuna. Minggu pagi yang biasanya khidmat di gereja, berubah menjadi duka.
Ledakan itu menelan 18 korban jiwa, dan puluhan lain luka-luka. Salah satu dari korban luka adalah Desmonda Paramartha. Aktivis gereja tersebut menjadi korban ledakan saat ia dan teman-temannya yang tergabung dalam Orang Muda Katolik (OMK) tengah menggalang dana di halaman parkir gereja untuk kegiatan jambore OMK.
Baca juga Mendengar Penuturan Pendamping Korban Bom Surabaya
Pagi itu ia melihat sebuah sepeda motor berkecepatan cukup tinggi menyelonong masuk ke halaman gereja. Pengendaranya adalah dua orang laki-laki berpakaian serba hitam, mengenakan helm full face, serta membawa kardus di bagian tengah. Tak lama setelah itu ledakan terjadi. “Keadaan gereja berantakan. Kaca gereja di lantai dua pecah menjadi rerentuhan karena kerasnya suara ledakan,” ujar Desmonda mengenang persitiwa pahit tersebut.
Masih lekat dalam ingatan Desmonda suara ledakan yang bersumber dari sepeda motor itu. Spontan Desmonda berlari menjauh. Namun beberapa detik berikutnya, badannya terhuyung. Dia tersungkur ke tanah. Sejumlah rekannya bergegas membawa Desmonda menuju rumah sakit terdekat.
Baca juga Peristiwa Iman untuk Pemaafan
Desmonda mengalami sejumlah luka di tiga bagian tubuh, yakni leher, betis, dan paha. Luka yang paling parah adalah di bagian pahanya. Rambutnya pun terbakar. Ia harus menjalani perawatan di rumah sakit selama lima hari dan dilanjutkan dengan check up rutin selama tiga bulan.
Peristiwa ledakan tersebut bukan hanya mengakibatkan luka fisik bagi Desmonda, melainkan juga menorehkan luka batin dan trauma yang bahkan masih ia rasakan hingga saat ini, “Keadaan saat ini, puji Tuhan berangsur membaik. Walaupun terkadang saat mendengar suara sirine ambulans masih trauma,” kata gadis asli Surabaya ini.
Baca juga Dua Tahun Bom Surabaya: Ikhlas Obat dari Segala Obat
Meski demikian, Desmonda memilih untuk terus berdamai dengan musibah yang telah menimpanya. Ia bahkan lebih memilih untuk memaafkan dan mengikhlaskan yang telah terjadi.
“Saya merasa lebih lega setelah memaafkan. Ayo kita sama-sama memaafkan, biarkan mereka beristirahat dengan tenang. Memang memaafkan itu tidak mudah dilakukan tapi pelan-pelan pasti bisa memaafkan. Saya tahu bahkan sampai sekarang ada teman yang tidak bisa memaafkan. Jika Tuhan saja selalu memaafkan, kenapa kita tidak,” pesan Desmonda.
Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah
Ketangguhan Desmonda terus ia coba salurkan melalui pesan-pesan perdamaian, terutama menanggapi pengeboman di Makasar Maret lalu. “Beberapa waktu lalu, saat mengetahui adanya pengeboman di Makassar, saya hanya menyampaikan kalimat berikut di media sosial.
“Gak perlu tanya kenapa kok selalu Gereja yang di bom? Emang kita (umat Kristen) salah apa? Kenapa, kenapa? Cukup doakan saja, karena mereka (pelaku) juga menjadi korban”. Ya walaupun sulit untuk diterima, tapi mari kita bersama-sama untuk belajar,” ujar Desmonda [LADW]