Meluruskan Nalar Konspiratif Terorisme
Aliansi Indonesia Damai – Terorisme kerap diasumsikan sebagai rekayasa pihak-pihak tertentu demi kepentingan politis, ekonomis, maupun lainnya. Analisis-analisis konspiratif banyak berseliweran, khususnya di media sosial.
Isu konspirasi ini juga muncul saat “Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” yang digelar AIDA secara daring pada akhir Mei lalu. Kegiatan ini hasil kerja sama dengan Bidang Kemahasiswaan Institut Teknologi Telkom (ITT) Purwokerto.
Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Penyintas Bom Kuningan
Kepada Solahudin, ahli jaringan terorisme, yang menjadi salah satu narasumber kegiatan ini, salah seorang peserta menanyakan tentang sejauh mana kesahihan opini-opini konspiratif mengenai terorisme.
Menurut Solahudin, terorisme bukanlah konspirasi, melainkan unintended consequences atau konsekuensi yang secara tidak sengaja muncul akibat gagalnya sebuah kebijakan. Ia mencontohkan sejarah kemunculan Islamic State of Iraq and Syam (ISIS) yang berawal dari invasi militer Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun 2003.
Baca juga Warek ITT Purwokerto Ajak Mahasiswa Lestarikan Perdamaian
Pada awalnya, AS menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal yang akhirnya tidak terbukti. AS kemudian menggulingkan rezim Saddam Hussein dengan membentuk pemerintahan transisi untuk mengambil alih kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Irak. “Akhirnya muncul kelompok-kelompok perlawanan. Diawali dengan Partai Ba’ath,” ucapnya.
Partai Ba’ath yang awalnya berideologi sosialisme Arab dan sekuler perlahan berkembang menjadi kelompok ekstremis setelah kehadiran Al-Qaeda yang melihat celah untuk melawan AS di Irak. Hal ini berujung pada banyaknya penangkapan terhadap aktivis kedua kelompok tersebut. Mereka dikumpulkan dalam satu penjara bernama camp bucca. Namun justru di tempat itulah para tahanan melakukan konsolidasi.
Baca juga Mencegah Pemuda Terpapar Paham Ekstrem
Meskipun berbeda, kedua kelompok memiliki kepentingan yang sama untuk melawan pemerintahan transisi bentukan AS. Terbentuklah front perlawanan baru yang lantas dikenal dengan Islamic State of Iraq (ISI). Kelompok ini kemudian masuk dalam konflik Suriah pada tahun 2011, dan berubah menjadi ISIS.
“Makanya di berbagai studi tentang ISIS disebutkan bahwa di Lapas itulah ISIS terbentuk,” tutur Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Hal tersebut juga berlaku bagi Al-Qaeda yang muncul ketika perang Afghanistan terjadi. Pada sekitar tahun 1980-an, Uni Soviet melakukan aneksasi terhadap Afghanistan. AS meresponsnya dengan kebijakan proxy war. Pemerintah AS membiayai kelompok mujahidin untuk mengusir pasukan Uni Soviet. Mujahidin tersebut tidak hanya berasal dari Afghanistan, namun juga muslim dari negara-negara lainnya.
Baca juga Meluruskan Stereotip Terorisme
“Yang tidak disadari oleh AS waktu itu, ketika mereka (mujahidin) datang ke Afghanistan, pemuda-pemuda itu kemudian berkomunikasi. Dan akhirnya tahun 1988 pemuda-pemuda itu membentuk kelompok baru yang namanya Al Qaeda. Sehingga lahirnya kelompok-kelompok radikal ini menurut saya bukan karena konspirasi, melainkan produk dari kesalahan kebijakan luar negeri AS,” ujar Solahudin.
Lebih jauh Solahudin mengajak mahasiswa untuk melihat para korban dan mantan pelaku terorisme sebagai bukti nyata adanya terorisme. Jika terorisme adalah konspirasi, maka tidak akan ada korban. Keberadaan korban menjadi refleksi penting bahwa terorisme adalah hal konkret yang harus ditanggulangi. [WTR]