Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag. Terakhir)
Paradoks selanjutnya berkaitan dengan korban sebagai pihak paling menderita akibat perbuatan segelintir oknum yang berjihad tanpa didasarkan ilmu. Para korban tidak memiliki persoalan apa pun dengan para pelaku aksi kekerasan, bahkan tidak saling mengenal. Namun mereka harus menanggung dampak fisik dan psikis yang berkepanjangan. Kehilangan sosok terkasih, cedera fisik hingga mengalami disabilitas, bahkan beberapa ada yang mengalami kelumpuhan. Belum lagi trauma psikis yang tak mudah hilang.
Secara teoretis, kontranarasi ekstremisme harus memenuhi dua syarat, yaitu message (pesan) dan messenger (pembawa pesan). Pesan harus benar-benar tepat. Mayoritas pesan yang kredibel datang dari internal kelompok (ingroup critic). Pembawa pesan pun harus otoritatif. Korban merupakan salah satu pihak yang mempunyai otoritas karena memiliki pesan kuat. Sebagai pihak tak bersalah, mereka harus menanggung dampak dampak buruk dari pemikiran dan aksi yang dilakukan para pelaku kekerasan.
Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.1)
Hal tersebut banyak diakui oleh narapidana terorisme. Warga sipil bukanlah target dari amaliyat/aksi yang mereka lakukan. Faktor ini justru dapat mendorong perubahan yang terjadi pada narapidana terorisme. Mereka menyadari apa yang dilakukan atas nama agama dan jihad berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi. Aksinya kontraproduktif terhadap perjuangan Islam sendiri.
Ternyata aksi mereka jauh dari adab jihad yang wajib mempertimbangkan hak hidup warga sipil, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Jihad dalam arti perang melarang pembunuhan terhadap nonkombatan, orang tua, perempuan, atau anak kecil. Jika harus membunuh musuh maka tidak boleh menyiksa. Dilarang pula menebang pohon atau meruntuhkan bangunan, bahkan membumihanguskan daerah yang diperangi.
Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.2)
Banyak napiter yang setelah dipertemukan dengan korban mengakui kekeliruan pandangan mereka atas aksi-aksi teror atas nama jihad. Sebagai contoh, dengan penuh kesadaran napiter menyatakan, setiap amaliyat di luar medan konflik pasti akan menimbulkan korban tak bersalah. Sebelumnya mereka mengabaikan pertimbangan tersebut mengingat amaliyat adalah hal urgen yang harus dilakukan demi perubahan negara.
Setelah mendengar kisah korban secara langsung, sebagian napiter meminta maaf sebagai bentuk empati, lalu menyesali perbuatan yang mereka lakukan sebelumnya. Hasil positif lainnya juga terlihat dalam konteks tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa).
Baca juga ‘Kepungan’ Menjaga Harmoni
Setelah bertemu dengan korban, sejumlah napiter mengaku lebih meningkatkan kualitas keimanannya. Karena belum tentu mereka akan meninggal dalam keadaan baik (husnul khatimah) sebagai korban. Hal tersebut berkaca pada korban terorisme yang saat kejadian sedang bekerja untuk menafkahi keluarganya namun nyawa mereka terenggut.
Sebagian napiter berkomitmen mengajak teman-temannya yang masih keras (ekstrem) untuk berpikir ulang atas apa yang mereka perbuat dan yakini selama ini. Selain dorongan kognitif, perubahan bisa terjadi dari ranah afeksi.
Dari korban, napiter dapat melihat bahwa tujuan yang baik akan berakibat buruk jika dilakukan dengan cara yang salah. Strategi perjuangan bisa berubah, sedangkan korban yang mengalami disabilitas sulit kembali pada kondisi semula, terlebih yang meninggal dunia.
Baca juga Berdamai dengan Ketidaksukaan