08/07/2021

Layanan Kesehatan Jangka Panjang Bagi Penyintas

Aliansi Indonesia Damai- Mulyono Sutrisman, korban peristiwa Bom Kuningan 2004, mengapresiasi pemerintah yang telah memenuhi sebagian hak-hak korban terorisme. Meskipun begitu masih diperlukan perbaikan, terutama dalam hal rehabilitasi medis bagi penyintas terorisme yang mengalami cedera berat dan harus menjalani terapi jangka panjang.

Hal itu disampaikannya dalam Diskusi Kelompok Terfokus secara Daring “Mengawal Implementasi Pemenuhan Hak-Hak Korban Terorisme” yang digelar AIDA secara daring pada akhir Juni lalu. Mulyono mengungkapkan, korban terorisme yang mengalami kerusakan saraf membutuhkan terapi yang lama, bahkan terkadang harus seumur hidup. “Luka saraf sangat sulit terdeteksi. Dokter biasanya membutuhkan asesmen yang cukup lama,” katanya.

Baca juga Aksesibilitas Data Kompensasi Korban Terorisme

Oleh karena itulah Mulyono menyoroti kebijakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tentang skema durasi layanan kesehatan. Untuk mendapatkan treatment pengobatan secara gratis, korban terorisme harus mengantongi “buku hijau” yang diterbitkan LPSK. Namun dalam klausul penggunaannya, dinyatakan bahwa korban dinyatakan sembuh dan bebas dari pengobatan apabila tidak menggunakan buku tersebut selama enam bulan.

Padahal, ada sejumlah faktor yang memungkinkan seorang korban tidak menggunakan buku hijau tersebut. “Seorang penyintas bisa jadi dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk ke rumah sakit. Atau bisa jadi dia sakit, tapi mencoba menahan rasa sakit itu terlebih dahulu. Itu yang harus diperhatikan oleh LPSK. Jangan sepihak mengatakan penyintas si fulan sudah sembuh,” tutur Mulyono.

Baca juga Memastikan Kehadiran Negara bagi Korban

Ia juga mengkritik kebijakan LPSK yang secara sepihak mengeluarkan dokter spesialis dari daftar dokter korban seiring berjalannya waktu. Sebab, ada kemungkinan korban akan kembali membutuhkannya di masa depan. “Dokter dari LPSK sendiri yang menyatakan si fulan dapat empat atau lima dokter spesialis, di lain waktu di-take out jadi dua misalkan. Itu akan menyulitkan korban nantinya,” ujarnya.

Sorotan berikutnya terkait second opinion. Mulyono menilai bahwa dokter juga manusia biasa yang memiliki keterbatasan dalam memvonis sebuah penyakit. Misalnya, tidak semua dokter memiliki kesimpulan yang sama tentang penyebab seseorang itu menderita sakit kepala. Maka dibutuhkan second opinion apabila dokter yang ditunjuk LPSK tidak bisa mengobati penyakit korban.

Baca juga Tantangan Baru Perlindungan Korban Terorisme

“Jujur, saya sendiri sampai lima atau enam dokter saraf yang tidak tahu apa penyakit saya. Setelah sekian tahun, saya baru ketemu kemarin, dan bisa ketemu root cause-nya. Harapannya LPSK bisa melihat kemungkinan-kemungkinan itu. Tidak semua korban bisa digeneralisasi soal larangan second opinion,” ucapnya.

Merespons kritik Mulyono, Rianto Wicaksono, Tenaga Ahli LPSK menjelaskan, bantuan medis bagi korban terorisme merujuk pada hasil asesmen. LPSK bisa menambah durasi layanan dengan adanya rekomendasi dari dokter. Sementara terkait masalah second opinion, maksud dari klausul tersebut adalah bukan dilarang melainkan tidak ditanggung pembiayaannya oleh LPSK. Pihaknya hanya menanggung biaya dokter dan rumah sakit yang dirujuk dalam surat rekomendasi.

Rianto memahami bahwa korban bom banyak yang menderita gangguan saraf karena adanya serpihan-serpihan bom yang tidak bisa diambil, sehingga LPSK menyadari ada kemungkinan penyakit baru yang tidak terpusat pada satu keluhan saja. “Jika ada keterlambatan respons, kami meminta maaf. Namun kami memastikan bahwa fasilitas tersebut akan tetap diberikan kepada korban,” ujarnya [FAH]

Baca juga Menyegerakan Kompensasi Korban Masa Lalu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *