07/07/2021

Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bag. 1)

Aliansi Indonesia Damai- Seburuk apa pun masa lalu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berubah. Begitu pun dengan mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Sebagian dari mereka yang pernah terjerumus ke dalam jaringan kekerasan, kini insaf dan menyampaikan kisah hidupnya kepada masyarakat luas. Proses kesadaran tumbuh bertahap. Mereka mengaku khilaf dan meminta maaf.

Iswanto, mantan ekstremis yang pernah berjihad di wilayah konflik di Poso dan Ambon,  adalah salah satunya. “Sekarang saya memahami, mencintai negara juga bagian dari iman. Tidak perlu berperang, karena itu menyakiti sesama,” katanya.

Baca juga Hati-Hati Mencari Ilmu

Kesadaran Iswanto kian menguat ketika bertemu dan mendengar kisah penderitaan hidup korban terorisme. “Sampai saya bertemu korban bom, berbincang, mendengar kisahnya, mereka ikhlas dan memaafkan saya. Mereka membuat saya makin yakin apa yang saya lakukan adalah bentuk kesalahan,” ungkap Iswanto dalam kegiatan AIDA beberapa waktu lalu.

Pernyataan Iswanto di atas tentu saja berbeda dengan realitas masa lalunya. Dulu, Iswanto adalah orang yang paling bersemangat ketika diajak untuk berperang atas nama agama. Ia meyakini, agama Islam harus diperjuangkan melalui aksi-aksi kekerasan. Keyakinan itu tak lepas dari latar belakang pendidikan dan guru-gurunya. Sewaktu masih berstatus pelajar, Iswanto hidup dalam iklim pendidikan yang cenderung eksklusif dan tertutup. Ia mendapatkan doktrin dan ajaran agama yang kaku dan keras.

Baca juga Jalan Hijrah Mantan Ekstremis

Doktrin itu menekankan bahwa majelis tempatnya belajar adalah yang paling benar, sementara majelis lain salah, bahkan tergolong sesat. Ajaran ini membuat Iswanto memandang kelompok lain dengan sebelah mata. Semua kelompok yang tak sepaham dengan kelompoknya dianggap sesat dan melenceng dari ajaran Islam yang sejati. Ditambah lagi doktrin-doktrin kekerasan yang terus ia dapatkan, seperti kewajiban seorang muslim membantu saudara-saudaranya yang berperang di wilayah konflik.

Tak hanya itu, guru-guru Iswanto acapkali mengajarkan materi jihad dalam arti sempit, yaitu berperang dengan keyakinan membela agama. Tak ayal Iswanto makin membenci orang-orang non-muslim yang ia yakini sebagai musuh Islam. Ia juga didoktrin tentang haramnya seorang muslim menerima dan mengakui status negara modern.

Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian

Menurut paham kelompoknya, negara berikut sistem dan perangkat-perangkatnya adalah produk orang-orang ‘kafir’ sehingga umat muslim harus menolak dan wajib berjihad menegakkan sistem negara baru yang menurut mereka harus berlandaskan Islam. Doktrin ini tertanam kuat di benaknya. Ia menjiwai setahap demi setahap ajaran para gurunya.

Pada suatu waktu, guru Iswanto berniat mengirimnya untuk belajar ke Pakistan. Namun rencana itu gagal. Ia merasa sangat kecewa. Ketika konflik komunal di Poso dan Ambon meletus, ia sangat bersemangat untuk berjihad di sana. Motivasinya membela umat Islam yang sedang berkonflik dengan non-muslim sekaligus pelampiasan hasrat jihadnya yang menggebu-gebu.  Sejak saat itulah, ia mulai terlibat langsung dalam aksi-aksi kekerasan. Bersama para ‘mujahid’, Iswanto merasa tengah berjuang di jalan agama. “Kita diajarkan bagaimana agar orang ikut kita, dicekoki narasi-narasi amar makruf nahi munkar, tetapi aksinya dengan perang dan pengeboman,” kata Iswanto. (Bersambung)

Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *