16/07/2021

Tantangan Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Aliansi Indonesia Damai- Akhir Juni lalu, AIDA menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus secara Daring “Mengawal Implementasi Pemenuhan Hak-Hak Korban Terorisme.” Kegiatan dihadiri di antaranya oleh perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), wadah korban terorisme di Indonesia.

Nanda Olivia Daniel, Sekretaris YPI, mengungkapkan sejumlah kerumitan yang sempat dialami oleh rekan-rekannya dalam proses permohonan pemenuhan hak-hak korban terorisme kepada lembaga yang berwenang.

Baca juga Layanan Kesehatan Jangka Panjang Bagi Penyintas

Salah satu kendala yang dihadapi oleh para korban terorisme masa lalu adalah ketiadaan dokumen yang membuktikan bahwa dirinya menjadi korban, seperti rekam medis dan semacamnya. Salah seorang korban Bom Kuningan yang dulu berstatus mahasiswa STIE Perbanas hanya mengandalkan data Kedutaan Besar Australia dan situs STIE Perbanas yang mencantumkan namanya sebagai korban.

Namun ketika pihak berwenang mengecek ke Rumah Sakit MMC, di mana ia menjalani perawatan usai terkena ledakan, ada kesalahan penulisan nama. “Situasi pascabom penuh dengan kepanikan. Petugas hanya menulis apa yang mereka dengar tanpa mengoreksi nama sebenarnya. Kemudian ini menjadi masalah,” ujar Nanda.

Baca juga Aksesibilitas Data Kompensasi Korban Terorisme

Dari kasus tersebut, Nanda berharap agar jejak digital dapat dijadikan bahan untuk mengonfirmasi status korban. 

Temuan lain yang diutarakannya adalah korban yang “buku hijaunya” tertahan di LPSK. Dokumen ini diterbitkan oleh LPSK bagi korban tindak pidana yang berhak mendapatkan treatment pengobatan secara gratis. Saat melakukan wawancara dengan LPSK, yang bersangkutan diminta untuk membawa buku hijau. Namun baik korban maupun LPSK lupa untuk meminta atau mengembalikannya sehingga kedaluwarsa. Walhasil saat korban membutuhkan, buku hijau tidak bisa dipakai lagi karena durasi layanannya sudah habis.

“Dan buku tersebut disetujui pada saat masa pandemi, sehingga banyak korban yang takut ke rumah sakit dan membuat buku tersebut tidak pernah digunakan,” ucapnya.

Baca juga Memastikan Kehadiran Negara bagi Korban

Selain mengungkapkan temuannya, Nanda menyoroti soal minimnya sosialisasi dari pihak-pihak berwenang terkait bantuan psikososial sehingga banyak penyintas baru mengetahui setelah masa tenggat pengajuan berakhir.

Menanggapi hal tersebut, Rianto Wicaksono, Tenaga Ahli LPSK, mengatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan dokter forensik dalam mengasesmen korban terorisme masa lalu. Jika dokumen rekam medis tidak bisa ditemukan, bukti-bukti digital juga bisa digunakan dalam penetapan status korban. Terkait kasus yang diceritakan Nanda, saat ini permohonan dari korban yang bersangkutan sudah masuk ke LPSK.

Baca juga Tantangan Baru Perlindungan Korban Terorisme

“LPSK bekerja sama dengan dokter forensik untuk menentukan derajat luka korban. Tim forensik yang akan menilai dan menentukan jumlah kompensasi yang akan diberikan,” ucapnya.

Sementara terkait layanan medis, “buku hijau” adalah alat kontrol layanan dan bukan penentu penghentian layanan. Ia mengakui bahwa beberapa waktu lalu  ada sedikit hambatan terkait dengan perpanjangan masa bantuan pengobatan.

Sedangkan terkait dengan bantuan psikososial, LPSK bekerjasama dengan lembaga lain yang memang kuotanya terbatas. “Bukan tidak transparan, akan tetapi lebih menyesuaikan dengan kriteria dari pihak penyelenggara,” ucapnya. [FL]

Baca juga Menyegerakan Kompensasi Korban Masa Lalu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *