21/09/2021

Dialog Siswa SMAN 1 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai – AIDA menggelar Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Surakarta pada pekan kedua bulan ini. Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan yang sudah bertobat dan kini aktif menyuarakan perdamaian.

Pada awal paparannya, Iswanto menceritakan sepak terjangnya bersama kelompok ekstrem di usia muda. Ia bahkan pernah terlibat langsung dalam konflik komunal yang terjadi di Ambon dan Poso pada tahun 1999-2000. Saat itu ia memiliki semangat jihad besar yang ia yakini sebagai perang untuk membela agama, sebagaimana yang ia pelajari dari gurunya.

Baca juga Siswa SMAN 1 Surakarta Belajar Ketangguhan dari Penyintas Bom

Namun, tragedi Bom Bali 2002 menjadi titik baliknya. Ia mulai menyoal konsep jihad yang ia pahami kala itu. Ditambah lagi Ali Imron, salah satu gurunya yang tervonis hukuman penjara seumur hidup karena keterlibatannya dalam aksi pengeboman di Pulau Dewata, juga memintanya untuk berhenti dari kelompok ekstrem. Sejak saat itu, ia mengkaji ulang makna jihad dari pelbagai sumber otoritatif. Puncaknya ia berkesimpulan, menuntut ilmu pun merupakan bagian dari jihad.

Setelah paparan Iswanto, muncul beberapa pertanyaan dari  siswa. Seorang peserta  mengungkapkan keingintahuannya mengenai proses pertobatan Iswanto dari kelompok ekstrem. “Apabila kita sudah telanjur masuk dan ingin keluar, kan tidak mungkin langsung bisa keluar karena pasti dicari, bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut?” ujarnya.

Baca juga Pesan Perdamaian Pelajar Surakarta (Bag. 1)

Iswanto membenarkan kondisi tersebut. Berdasarkan pengalaman pribadinya, ia bahkan pernah dicari-cari hanya karena pindah kelompok. “Bahkan saya sudah pindah ke organisasi lain saja, meskipun sama-sama di medan perang dan hanya beda jalur saja, itu saya masih dicari oleh organisasi yang lama, masih ditanyakan,” katanya menjelaskan.

Saat sudah berhenti total, salah satu teman kuliahnya yang masih aktif di kelompok ekstrem pernah mencoba mengajak Iswanto kembali bergabung. Namun ajakan tersebut ditolaknya secara baik-baik hingga akhirnya mereka bisa mengerti keputusannya.

Baca juga Pesan Perdamaian Pelajar Surakarta (Bag. 2- Terakhir)

“Saya tolak, meskipun itu teman akrab saya. Saya lebih nyaman bersama masyarakat karena saya mendapatkan banyak kedamaian dan kenyamanan. Saya katakan, apabila kamu tidak suka dengan saya tidak apa-apa. Pada akhirnya, mereka tidak membicarakan masalah jaringan kepada saya. Tapi ya itu harus disampaikan dengan baik,” ucapnya kepada 55 siswa SMAN 1 Surakarta yang mengikuti kegiatan secara daring.

Siswa lain bertanya tentang bagaimana menyikapi teman yang terindikasi memiliki paham ekstrem. Iswanto menjelaskan, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan mengajak berdialog untuk memastikan bahwa ia benar-benar terpapar paham ekstrem. Namun, jika tidak mampu melakukannya, ia menyarankan agar disampaikan kepada guru sebagai pihak yang lebih berwenang.

Baca juga Hikmah dari Kehidupan Penyintas dan Pelaku Terorisme

Iswanto juga mewanti-wanti seluruh siswa agar berhati-hati dan jangan sampai ikut terpapar ekstremisme. Terlebih di era digital, ia mengingatkan untuk tidak mudah terpengaruh dengan ajakan di media sosial.

“Saya yakin banyak generasi sekarang yang terpapar bukan karena mengaji, tapi justru dari media sosial. Kebetulan, mereka ini tidak mau bertanya kepada yang lebih paham tentang gerakan ini sehingga sangat mudah untuk mengikuti organisasi ekstrem,” demikian pesannya. [WTR]

Baca juga Hikmah dari Kehidupan Penyintas dan Pelaku Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *